TUJUH – Belum Saatnya untuk Diceritakan
Kalau dulu saat Maya masih hidup, rutinitas Bima di Minggu pagi adalah jogging di kawasan Gelora Bung Karno, sekarang rutinitas Bima adalah mengunjungi makam Maya.
Memang tidak bisa setiap minggu, tapi dalam sebulan, pasti lebih dari sekali Bima berkunjung ke sana. Orang-orang menyebut Bima sebagai orang yang sulit move on dan menyedihkan, sebagian lagi ada yang menyebutnya terlampau setia dan romantis. Tapi apa pun itu, Bima tidak benar-benar peduli dengan pendapat orang lain.
Bima hanya peduli pada pendapat Maya, yang sekarang pendapatnya sudah tidak bisa ia dengar lagi.
"Bima."
Seorang perempuan paruh baya yang fisiknya mirip dengan Maya, datang menghampiri Bima. Bima segera berdiri dan mencium punggung tangan perempuan yang sudah ia hormati layaknya ibu sendiri—Marissa, ibu Maya.
"Pagi, Tante."
"Pagi, Bim." Marissa tersenyum dan menepuk bahu Bima dengan keibuan. "Udah di sini aja kamu pagi-pagi begini."
"Tante juga."
"Karena Tante tahu kamu akan ada di sini juga." Marissa terkekeh. "Mau temenin Tante ngopi dan makan siang setelah ini? Papanya Maya lagi di luar kota nih, jadi Tante sendiri ke sini."
"Lho, nggak dianterin Mariska, Tante?" Mariska adalah adik Maya yang usianya hanya terpaut tiga tahun dari Bima dan seringnya, Marissa diantar Mariska kalau sedang berkunjung ke makam Maya.
"Nggak, Tante sama sopir. Dia baru pulang jam satu tadi karena mesti lembur. Tante mana tega bangunin dia."
Bima mengangguk mengerti dan mereka berdua duduk di samping makam Maya, di atas tikar yang sejak tadi digelar Bima setibanya di makam mendiang kekasihnya.
Area pemakaman itu masih sepi, karena saat ini pun terhitung masih pagi dan bukan masa di mana orang-orang berbondong ziarah ke makam keluarga. Bima memang biasa datang di waktu sepagi ini. Maya selalu menyukai pagi hari, apalagi di akhir pekan. Makanya Bima selalu berusaha untuk datang ke sini saat hari masih pagi.
Udara di pagi hari biasanya masih lebih segar, walaupun segarnya udara Jakarta tentu saja tidak bisa disamakan dengan udara di daerah lain. Bagi Maya yang setahun sebelum kepergiannya divonis waktunya tak lama lagi oleh sang dokter, bisa bangun di pagi hari adalah hal yang sangat ia syukuri sampai di detik terakhir hidupnya.
"Tante kangen sama Maya." Marissa membuka percakapan di antara mereka setelah memanjatkan doa untuk Maya. "Kamu masih kangen sama Maya?"
"Masih, Tante. Setiap hari...."
"Maya beruntung bisa dipertemukan sama orang baik kayak kamu, Bima." Marissa mengatakannya dengan sungguh-sungguh. Bima menoleh dan mendapati bahwa Marissa menatapnya dengan intens. "Tante nggak akan capek ngomongin ini, Bim.... Makasih ya, udah nemenin Maya, Bim. Berkat kamu, Maya jadi tahu rasanya punya seseorang yang selalu ada di samping dia."
"Aku juga ngerasa hal yang sama kok, Tante," timpal Bima. Senyumnya terkembang kala teringat bagaimana Maya pun selalu ada di sampingnya, seperti bagaimana tadi Marissa menyebut peran Bima di dalam hidup Maya.
Mereka membicarakan banyak hal sampai matahari mulai meninggi. Bima memang sudah lama dekat dengan keluarga Maya, apalagi saat Maya mulai intensif dirawat di rumah sakit, Bima selalu menemaninya.
"Kabar kamu gimana selama ini, Bim? Sehat kan?" Marissa bertanya selagi mereka berjalan menjauhi makam Maya, setelah lebih dari satu jam berada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
[SELESAI] Tuan dan Nona Kesepian
Romance[SELESAI] "Ada yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang cintanya sudah habis untuk orang lama, Bim." "Ada juga yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang jiwanya udah mati tapi fisiknya masih hidup. Apakah kamu memang begitu, D...