LIMA – Anak Kucing yang Telantar
Bima turun dari bus yang membawanya sampai ke Halte Lebak Bulus dan mendesah lega saat berhasil memisahkan diri dari kerumunan penghuni bus tersebut. Ia melangkah menuju sudut halte untuk menarik napas sejenak, tapi langkahnya langsung berhenti begitu mendapati seorang perempuan duduk di kursi halte, dengan rambut yang menutupi wajahnya.
Tadinya Bima sudah ingin melengos pergi, tapi gantungan kunci yang familier di strap tas si perempuan, menghentikan keinginannya.
"Dru?" Sebaliknya, Bima malah semakin mendekat dan memanggil perempuan yang ia kenali sebagai Dru.
Bima ingat akan gantungan kunci dari clay berbentuk kucing di tas perempuan yang mirip Sadako, sama dengan gantungan kunci yang Bima lihat di tas Dru tempo hari.
Kenapa Bima mengatakan Dru mirip Sadako yang kerap muncul di film horor tersebut? Karena Dru yang saat ini duduk di halte mirip dengan Sadako yang beraura muram dan berambut hitam panjang.
Perempuan itu mendongak dan ternyata benar, ia adalah Dru. "Mas Bima?"
Bima mengangguk. "Ngapain di sini?" tanya Bima dengan keheranan. Beberapa hari ini sejak mereka naik bus bersama dari Harmoni, Bima tidak pernah bertemu lagi dengan Dru,
"Mau pergi?" tanya Bima lagi. "Atau lagi duduk karena pegel?"
"Lagi mikir aja sih, Mas."
Bima mengernyit begitu mendengar jawaban Dru barusan. "Kamu udah lama di sini?"
"Hmmm, dari jam setengah delapan kayaknya."
Bima mengecek jam tangannya dan mendapati bahwa saat ini sudah pukul sembilan malam. "Lama juga," komentarnya.
"Lumayan."
"Kamu belum mau pulang?"
Dru menggeleng lemah. "Kepalaku lagi ruwet rasanya, aku baru mau pulang kalau udah ngerasa lebih baik."
"Oh, oke."
Mereka bertukar tatap dan Bima jadi merasa dilema untuk pertama kalinya. Apa lebih baik ia meninggalkan Dru di sini sendirian dan pulang begitu saja?
Toh mereka bukan teman akrab. Bima tak yakin apakah kehadirannya diperlukan oleh perempuan berambut panjang ini.
Tapi lihat dia kayak lagi ngaca nggak sih, Bim? Kamu juga sering begini tanpa orang-orang sadari—duduk sendirian mencari tahu apa yang bisa diperbaiki, merasa sepi di tengah keramaian, merasa berjarak dengan orang sekitar padahal sangat dekat....
Apa... lebih baik Bima menemaninya saja?
Melihat Dru saat ini rasanya seperti melihat dirinya beberapa waktu yang lalu, di awal masa berdukanya atas kepergian Maya.
"Mas nggak pulang?" Dru-lah yang mengakhiri ajang saling tatap dalam diam di antara mereka.
Sejak mereka mengobrol dalam perjalanan ke kantor beberapa waktu yang lalu, keduanya tanpa disadari sudah lebih akrab daripada pertemuan pertama mereka. Kata saya yang biasa mereka pakai sudah turun menjadi aku, membuat mereka terkesan seperti dua orang teman yang sudah cukup saling mengenal, walau kenyataannya tidak begitu.
"Aku belum makan malem," celetuk Bima yang tidak menjawab pertanyaan Dru. "Ada tempat nasi goreng yang lumayan enak di deket perumahan kita, mau makan bareng?"
"Nasi goreng?"
"Iya. Atau kamu lagi diet dan nggak makan nasi?"
Dru terlihat berpikir sebelum menjawab, "Nggak sih...."
KAMU SEDANG MEMBACA
[SELESAI] Tuan dan Nona Kesepian
Romansa[SELESAI] "Ada yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang cintanya sudah habis untuk orang lama, Bim." "Ada juga yang bilang kalau orang seperti kamu adalah dia yang jiwanya udah mati tapi fisiknya masih hidup. Apakah kamu memang begitu, D...