[10] Dru Lupa Seperti Apa Dirinya yang Dulu

225 11 2
                                    

SEPULUH – Dru Lupa Seperti Apa Dirinya yang Dulu


Memiliki teman pulang-pergi ke kantor selain Arjuna setelah bubarnya hubungan mereka adalah hal yang tidak pernah Dru harapkan. Dru pikir ia akan sendirian dan kalau mau jujur, ia agak tidak terbiasa dengan kesendirian yang tiba-tiba jadi teman akrabnya.

Selama menjadi kekasih Arjuna, Dru bisa dibilang hampir selalu bersama dengan Arjuna. Paling-paling kalau salah satu dari mereka ada yang lembur, baru mereka tidak bersama.

"Aku bawa komik lebih, kamu mau baca?"

Tawaran itu seperti penyelamat bagi Dru, bagai pelampung yang dilempar untuk Dru ketika ia hampir tenggelam dalam lamunan kenangan lamanya.

"Nggak deh," tolak Dru pada Bima yang duduk di sebelahnya.

Sudah hampir satu bulan sejak tawaran spontan mengenai pulang-pergi bersama ke Halte Lebak Bulus, dicetuskan oleh Bima. Dru yang seumur hidupnya bisa dihitung dengan jari kapan ia mengambil keputusan secara spontan, memutuskan untuk menerima tawaran Bima.

Sejak saat itu, mereka bisa dibilang pulang dan pergi bekerja bersama. Karena sudah punya nomor telepon masing-masing, Bima dan Dru saling menghubungi lewat WhatsApp kalau mau pergi dan pulang. Kadang-kadang mereka tidak bisa pulang bersama, sebab Bima lembur hingga pukul satu pagi atau Dru yang langsung pulang dengan Tara dari rumah sakit usai menjenguk Yumna.

"Tumben nawarin komik." Dru baru ingat kalau ini pertama kalinya, Bima menawarinya komik yang ia bawa untuk Dru baca.

Terkadang mereka memang mengobrol di sepanjang jalan, tapi sering juga keduanya sibuk dengan kegiatan sendiri-sendiri—Bima membaca komik, Dru menonton drama Korea dari ponselnya, atau keduanya tertidur hingga mereka tiba di tujuan.

"Kamu melamun, soalnya. Kayak orang lagi banyak masalah."

Dru tersentak kaget. Apa ia memang semudah itu untuk dibaca? "Oh, ya?"

"Mau pengalihan?" Bima menyodorkan komik yang tadi ia baca dan Dru pun menerimanya.

"Thanks, kayaknya aku emang butuh," aku Dru yang memutuskan untuk jujur. "Makin dipikirin malah makin pusing."

"Aku bawa lima komik kok hari ini."

"Makin banyak ya jumlah komik yang kamu bawa." Dru ingat kalau tadinya Bima hanya membawa tiga komik di pertemuan pertama mereka, lalu meningkat ke empat komik dan kini jadi lima.

"Aku suka baca komik juga di sela-sela jam istirahat kantorku dan kecepatan membacaku meningkat karena makin sering baca." Bima mengeluarkan satu komik lagi untuk dirinya baca, karena komik yang tadi di tangannya sudah ia serahkan kepada Dru.

"Pengalih perhatian yang bagus ya."

"Lumayan, thanks to you."

"Thanks udah bantu ongkos angkut barang-barangku ke rumah baru," ucap Dru dengan blak-blakan.

Bima tertawa kecil dan kini ia benar-benar menatap Dru dengan tatapan teduh yang jarang Dru lihat sebelumnya. "Kamu...." Lelaki itu terlihat ragu untuk lanjut bicara, tapi Dru menaikkan alisnya, ia menunggu apa yang sebenarnya ingin dikatakan Bima.

"Apa, Mas?"

"Lagi ada masalah?"

"Banyak sih." Giliran Dru yang tertawa kecil, meski tawa itu lebih banyak sedihnya daripada cerianya.

"Mau didengerin?" tawar Bima. "Atau mau disimpen sendiri?"

Keduanya bertukar tatap—Dru menatap Bima dengan penuh pertimbangan, sedangkan Bima menatap Dru penuh keteduhan yang menawarkan kenyamanan. Selain pulang bersama, Bima dan Dru juga sering saling mendengarkan permasalahan masing-masing.

[SELESAI] Tuan dan Nona KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang