06. The Corner of Destiny

201 31 0
                                    

Sepanjang melewati koridor keduanya membuat kegaduhan. Kaveh yang termakan emosinya sudah tidak peduli apa itu reputasi. Selama Alhaitam mengekor di belakang sambil memanggil-manggil namanya. Kaveh masih saja tak menghiraukannya dan membiarkan semua orang di sana menyaksikan drama diantara mereka.

"Hari ini aku tidak mau pulang!" serunya seraya menghindari kontak dengan tangan Alhaitam yang hendak menariknya.

Tetapi Alhaitam tak mengindahkan perkataan Kaveh. Dengan kekuatan fisiknya yang mendominasi. Alhaitam berhasil menangkap pergelangan tangan dan mencengramnya seerat mungkin agar Kaveh tidak bisa memberontak.

"Tu-tunggu! Jangan menarikku!" seru Kaveh yang kemudian tangannya di tarik mengikuti ke mana Alhaitam berjalan. Semakin ia mencoba membebaskan diri, semakin kencang pegangan Alhaitam, sampai-sampai menyakitinya.

Tanpa memperdulikan pandangan orang-orang di sekitar. Alhaitam menyeretnya ke area parkir lalu mendorongnya masuk ke dalam mobil. Mengabaikan seberapa kencang Kaveh meneriakinya. Alhaitam dengan kasar menutup pintu mobil lalu masuk melalui pintu sisi lainnya.

Kaveh yang cengeng sudah hampir meneteskan air matanya. Alhaitam tidak mencoba untuk menghiburnya. Pria dingin itu hanya meliriknya sebentar dari kursi pengemudi.

"Ada apa denganmu?"

Pertanyaan yang terdengar acuh tak acuh itu spontan membuat Kaveh menoleh sebentar sebelum kembali membuang muka sambil berkata, "Ada apa denganku? Memangnya ada apa denganku?" Balasannya terdengar sarkas. Tetapi Alhaitam bisa melihat bagaimana Kaveh meremas ujung lengan pakaiannya setiap kali dia merasa tidak nyaman.

"Sepertinya aku telah menyinggungmu? Setiap hari kau selalu punya sesuatu yang bisa kau pakai untuk menyalahkanku," sahut Alhaitam yang hanya meletakan kedua tangannya di atas setir tetapi masih belum menyalakan mesinnya.

Semua pintu sudah terkunci secara otomatis. Tak ada gunanya Kaveh memaksa keluar. Dia bagaikan seekor tikus kecil yang terjebak dalam jeruji. Tetapi Kaveh tak berkecil hati. Sebaliknya emosinya naik pesat.

"Kau!...." dia berteriak. Kaveh tiba-tiba menarik kerah kemeja Alhaitam. "Bajingan! Kenapa tidak memberitahuku kalau kau sudah bertunangan!!?" Genggamannya mengerat. Seolah sedang menahan sesuatu di dalam dirinya. Sekujur badannya bergemetar dipenuhi amarah. Nafasnya berat, dia melotot. Matanya merah dan sembab, beberapa tetes air mata mulai membasahi pipinya yang memerah terkena suhu tubuhnya yang naik dengan drastis, sama seperti dengan emosinya.

Sebaliknya wajah Alhaitam masih sedatar tembok dan ekspresinya masih sedingin es. Dia selalu bertingkah seperti masalah yang dialami Kaveh bukanlah masalah untuknya. Bahkan ketika masalah tersebut masih berkaitan dengannya.

"Lalu kenapa?" Pria itu balik bertanya. Alhaitam mengusap air mata Kaveh dengan jempolnya. Berbeda dari ekpresinya yang dingin. Sentuhannya begitu hangat dan lembut. "Bukannya kau sendiri yang bilang? Kita tidak berteman maupun punya hubungan lain selain itu. Selain teman seatap. Memangnya apa lagi hubungan diantara kita? Teman seranjang?"

Namun kata-kata yang dilontarkannya masih setajam jarum beracun.

Apa perlu dia mengatakannya? Apakah sangat perlu dia menamparnya dengan kenyataan!!? Kaveh adalah yang paling tahu wujud asli hubungan mereka. Dia yang paling tahu betapa najisnya perasaan yang dimilikinya terhadap pria idaman di hadapannya. Lalu mengapa dia masih tidak rela untuk melepaskannya?

Sudahlah. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan seorang manusia biasa. Dari awal nasib sudah berkata lain. Apa gunanya dia terus melawan dan menyangkal? Walaupun dia rela mengorbankan seluruh yang ia miliki di kehidupan sekarang. Alhaitam masih harus pergi meninggalkannya, untuk kembali ke tempat ia berada seharusnya.

False MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang