Abang Jamal

2 1 0
                                    

Pintu ruang UKS diketuk, memunculkan seseorang dengan tubuh tingi proporsional berbalut jaket denim pucat. Rambutnya yang lemas itu sedikit berantakan.

Aku dan Arkana kompak menoleh ke arah pintu.

"Abang." Kataku histeris. Akhirnya Abang Jamal sampai setelah sekian lama aku menunggunya.

"Ayo pulang." Bang Jamal tanpa basa basi langsung mengajak ku pulang. "Siapa nih?" Tanyanya dengan 'sopan'.

"Arkana." Arkana mengulurkan tangannya yang kemudian dibalas oleh abang Jamal.

"Khairil. Abangnya Khaira. Lo...?" Abang Jamal menerka.

"Temen baru adek," Kataku dengan nada pamer. "Panggil aja bang Khai, Na." Percaya padaku, nama Khairil memiliki arti yang sangat bagus, tetapi malah jadi terdengar aneh karena abang Jamal.

"Enak aja gue dipanggil bangkai. Panggil gue Jamal." Abang Jamal mengenalkan dirinya lagi pada Arkana. Anak laki-laki itu tersenyum.

"Jaaah, kenapa nih kaki lo?" Si baru sadar adiknya kenapa-napa.

"Kesevirgo." Ekspresi bang Jamal sama seperti Bu Restu tadi.

"Keseleo." Arkana tersenyum.

"Kok bisa sih dek? Kamu barengan sama dia?"

"Maksudnya?"

"Ini." Abang Jamal menarik tangan Arkana dan menunjukkan perban yang membaluti pergelangan tangan anak itu.

"Ya ampun..." Aku sungguh lelah wahai abang ku yang ganteng tapi otaknya setengah.

"Maaf, ini keteledoran aku."

"Noh kan! Kamu pacaran sama dia? Abang bilangin Bunda yaa. Kamu tuh masih kecil, Adeek. Ga sepatutnya kamu pacaran."

"Kok jadi kesana?"

"Maaf, aku..."

"Berani-beraninya kalian kecil-kecil pacaran. Abang nikahin kalian yaa!"

"ABANG!"

"Apa sih kamu tuh."

"Dengerin ih!" Aku geram dengan kelakuan abang ku.

"Aku sama Khaira ga pacaran kak. Ini tangan ku keseleo karna latihan badminton."

"Tuh! Deger!"

Bang Jamal tak lagi bersuara, mulutnya terbungkam rapat-rapat.

"Lagian ga jelas banget dari keseleo ke pacaran. Ga nyambung tau bang ih, bikin malu." Aku memalingkan wajah ku dari Arkana.

"Yaudah ga usah dibahas lagi. Maaf yaa, Arkana." Bang Jamal menepuk-nepuk pundak Arkana. Aku yakin Abang Jamal malu dengan kelakuannya sendiri. Arkana tersenyum pada ku dan bang Jamal.

"Bisa jalan ga kamu?"

"Menurut Abaaangg?" Sebal. Kenapa bang Jamal tidak seperti Arkana yang peka akan kebutuhan ku. Bel istirahat berbunyi. Aku menyuruh abang Jamal untuk cepat bergerak. Tapi sepertinya dia sengaja memperlambat gerakannya, untuk caper ke teman-temanku.

Bang Jamal menggendongku di punggungnya. Beruntung aku tidak digendong bagai karung beras. Arkana membawa tas ku dan mengantar ku. Aku melihat banyak orang di depan, membuat ku menyembunyikan wajah ku di punggung abang kesayangan ku ini. Aku tau mereka semua hanya sedang jajan, tapi aku tau pasti beberapa dari mereka sedang memperhatikan ku. Ralat, memperhatikan bang Jamal.

"Abang, cepet jalannya ih."

"Bentar, abang mau caper."

Sebal. Aku memukul dada bang Jamal hingga dirinya tersentak. Aku menoleh dan melihat Arkana yang berada di sampingku. Dia juga melihat ku. Aku tertawa dan tersenyum. Begitu pula Arkana.

Are We in Love?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang