3. worst day ever

4.8K 319 8
                                    

Setelah pamitan pada Tio, aku melajukan motor ku ke arah luar. Aku bingung sama apa yang terjadi hari ini. Fiandra bilang, Arta bermain ps dengannya kemarin lusa. Arta bilang, Fiandra bermain futsal dengannya kemarin lusa. Mungkin jika aku berpikir positif, aku akan berfikir bahwa mereka bermain futsal di ps bersama sama. Tapi tidak untuk kali ini.

Aku pun memberhentikan motorku ketika melihat lampu merah menyala, dengan sabar aku menunggu hingga lampu itu berubah warna. Tak lama setetes air membasahi tanganku, dan bisingnya lalu lintas menyapa telingaku.

Bisa kah hal ini menjadi lebih buruk?

JEDYAR!

Mungkin, itulah jawabannya, petir membuat hari ku semakin beruk. Dan hujan gerimis pun bermetamorfosis menjadi hujan besar. Setelah lampu lalulintas berubah warna menjadi hijau, aku pun melajukan motorku dan menepi di sebuah warung kecil untuk mengambil jas hujan.

Betapa menjengkelkannya hari ini, karena aku lupa membawa jas hujan. Aku merasakan hal buruk akan terjadi jika aku pulang terlambat. Tidak ada yang bisa membantuku, untuk kesekian kalinya.

"Kien!" Teriak Arta dari arah depan, aku melihat mobil yang terparkir jauh dari motorku. Aku kenal plat nomor mobil itu. Itu mobilnya Kak Kiera. Atau yang akrab ku panggil Kak Kier.

"Apa sih, Ta?" tanyaku dan dia menaikkan alisnya sebelah, dengan pakaian rapih ditambah muka bantal, fix hari ini Arta gak nyambung.

"Apa? Hujannya bikin gue agak budek," ucapnya berdusta, aku yakin dia cuma ngeles. Dan dia malah menuju warung yang dekat dari tempatku berdiri. Maksudku warung yang berada tepat di depanku. Mau tak mau, aku harus mengikutinya.

"Ibu, teh manis anget dua," ucap Arta dan ibu itu mengangguk singkat. Dan segera meracik teh untuk kami.

"Ada apa? Aku harus pulang," ucapku, dan dia menoleh. Wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu yang tentu tidak aku ketahui.

"Bandung itu jadi kaya kutub kalo hujan," ucap Arta. Dan teh pun datang. Alamat tekor kalo gini caranya. Tabiat Arta adalah, mesen seenaknya, gak mau bayar.

Kan gue yang pesen? Gantian lah, lo yang bayar. Itu yang dia ucapkan kalo aku nolak bayar semua. Untung dia cuma pesen teh anget, coba kalo pesen nasi goreng? Kan bisa kena kanker alias kantong kering.

"Na," panggilnya kalem. Tumben, pasti ada maunya. Gak biasanya Arta bersikap seperti salah tingkah kayak gini.

"Apa?" Tanyaku dan dia menoleh. Aku tetap fokus pada teh ku, ya aku harus meniupnya kalo ga mau lidah kebakar.

"Teh panas jangan ditiupin," ucapnya, dia terdengar keki gak biasanya dia begini. Aku akui, walaupun kadang dia nyebelin, tapi dia udah kaya kakak buatku.

Malah better than Angel.

Tapi aku yakin, sebenernya dia ingin mengatakan hal yang lebih penting dari pada teh panas jangan ditiupin.

"Ya terus?" Ucapku tetap meniup teh, dan dia malah narik gelasku. Batal deh ucapanku yang baik baikin Arta. Arta ya tetep Arta.

"Lo gak bisa dibilangin ya!" Ucapnya, atau bentaknya. Fix, aku tarik omongan aku tentang Arta yang baik.

"Balikin teh aku Arta!" ucapku, aku ga mau main teriak teriak, ga enak, suasana masih pake seragam gini, aku ga bisa sembarang teriak.

"Jangan ditiup!" titahnya. Aku yang salah sih. Akhirnya aku mengangguk dan dia memberikan tehku kembali. Gimana mau diminum coba.

"Tadi lo udah niup kan? Pasti udah ga terlalu panas," ucapnya, dan aku meminum teh ini. Bener sih, gara gara udah aku tiup, dan di tahan sama Arta, tehnya udah ga terlalu panas.

"Bawa jas hujan gak?" tanya Arta, dan aku geleng. Dan tehku juga udah mau abis.

"Jadi berapa bu?" Tanya Arta ke ibu warung, rupanya teh punya Arta juga udah tinggal gelasnya.

"Tujuh ribu dek," ucap ibu warung dan Arta nyeggol aku, tuhkan! Apa aku bilang. Akupun pasrah dan mengeluarkan uang selembar sepuluh ribu.

"Ini bu," ucapku dan ibu itu mengambil uangnya, dan mengambil kembalian di kantung celemeknya.

"Ini dek kembaliannya, makasih dek," ucapnya dan langsung kembali kedalam. Ini hujan kok ga beres beres sih?

Arta pun berlari meninggalkanku ke mobilnya, kumat deh nyebelinnya. Tapi dia langsung kembali dan membawa-- jas hujan?

"Ini punya kak Kier, pake aja," ucap Arta menyodorkan jas hujan merah muda milik Kak Kier.

"Bilangin makasih ke Kak Kier ya," ucapku dan Arta mengangguk lalu pergi ke mobilnya. Aku langsung memakai jas hujan ini dan kembali ke motor.

Setelah aku memasukan motor ke garasi, dan menggantung jas hujan Kak Kier biar ga bau, aku menuju rumah. Pintu rumah ga dikunci. Aku langsung naik ke kamar, tapi satu suara menghentiakan langkahku.

"Zakiena, dari mana aja kamu?" tanya Bunda, dan aku mengecek jam yang bertengger di tangan kiriku. Jam setengah 4. Telat empat puluh lima menit dari bel pulang. Setahuku, empat puluh lima menit itu bukan waktu yang sebentar.

"Kamu main kan? Main aja kerjaanya," ucap Bunda. Aku kan gak main. Bunda selalu mencurgaiku, akupun lelah dengan sikap Bunda. Memang salahku menghancurkan kepercayaan Bunda dulu. Aku baru menyadari, kepercayaan itu mahal.

"Aku gak main Bun," ucapku, dan Bunda terlihat kesal.

"Kamu bisanya ngelak atau ngebantah!" Bentak Bunda.

Aku kan emang ga main?

"Aku memang ga main Bun," ucapku, dan Bunda mendekat, aduh.

"Terus kamu kemana?" Tanya Bunda, masa ia aku bilang, 'Tadi, aku neduh dulu sama Arta, minum teh anget dan dipinjemin jas hujan sama Kak Kiera, kebetulan tadi macet Bun,'

Gak mungkin kalo macet doang telat empat puluh lima menit , dan akupun memilih bungkam dan langsung ke kamar.

Worst day ever!

Aku membanting tubuh ku ke kasur setelah melempar tas sekolah ku. Aku hanya menatap langit langit kamar dengan suara hujan sebagai backsound nya. Kegiatanku diganggu oleh suara ponselku yang menandakan ada pesan masuk.

Arta: Na, jas hujannya balikin besok ya!

Aku memang telah mengganti nama dia di kontak LINE ku.

Zakiena: Siap!

An.

Makasih untuk RVC nya *-*, dan maaf untuk typo nya^-^. Dan, maafkan untuk ke-abalannya.

Wassalamu'alaikum

090615

Do not Look BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang