Prologue

14.7K 636 24
                                    

7 Juni 2013

Malam ini, begitu dingin, saking dinginnya tulang tulang punggungku turut merasakannya. Rok biru dongker pendek ini pun menambah dinginnya hari ini. Tiba tiba, sebuah jaket abu abu menutup kaki ku, saat aku tengah bersandar di kursi yang menyeramkan.

Getar ponselku mengalihkan perhatianku pada pria yang duduk di sampingku.

Arta: Menurut gue, kita gak mungkin ditahan. Terlalu di bawah umur. Mungkin lo lupa, kita ini masih 15.

Zakiena: Terserah, tapi gue bener bener ketakutan. Dingin, Ta.

Dan percakapan kami pun seleaai sampai di situ. Aku menatap kosong ke arah bingkai yang berjudul Tri Brata, sangat amat mendeskripsikan tempat kami berada.

Kantor kepolisian.

"Arta!" teriak wanita seumuran Bunda yang langsung memeluk anaknya, Arta. Aku udah gak punya muka buat menatap wajah ibunya Arta. Beliau datang dengan air yang membasahi kedua pipinya.

Kalian pikir, ibu mana yang gak sedih anak di bawah umurnya, nyaris ditahan polisi.

Tak lama setelah itu, Pak Fuad bersama Kak Kier datang bersama sama. Mereka tampak biasa saja tidak seperti Tante Astrid. Tak lama, Bunda bersama ayah datang dengan wajah dingin. Ekspresi paling menakutkan yang pernah ada.

"Maaf, orang tua Arta dan Zakiena, mohon ikut saya," ucap polisi yang dari tadi duduk di depanku dan menggiring orang tua kami, ke sebuah ruangan.

"Kien, maafin Arta," ucap Kak kier dan mengusap bahku yang tegang.

"Eh kak! Ini adiknya juga lagi tertekan loh," ucap Arta dengan nada yang bisa dibilang pelan.

"Ini salah lo, jadi diem!" ucap Kak Kier dan semua menjadi hening sampai orang tua kami keluar dati ruangan itu dan menyeretku keluar dari kantor polisi.

"Bun! Kien mau ditarik sama ayah aja, lepasin Kien, Bun!" Teriakku mengalahkan berisiknya air hujan. Bunda pun melepaskan genggamannya dengan cara melempar tanganku. Dan aku mulai menangis.

"Bunda gak pernah didik kamu jadi kriminal gini, gak!"

"Lin!" teriak Ayah dan melemparkan tatapan marah ke arah Bunda. Kami pun sampai di tempat ayah memakirkan mobilnya.

"Kamu Kien, nanti ikut ayah ke ruangan kerja ayah," ucap Ayah saat memakai sabuk pengaman dan aku mengangguk. Tidak ada yang berani memecah keheningan. Hanya suara rintik hujan yang jatuh ke atap mobil ayah yang terdengar.

***

"Kien," ucap ayah memberikan intruksi supaya terus di sisinya. Akupun menggenggam tangan ayah sampai ruang kerjanya. Aku pun menarik kursi dan meletakkannya di depan meja ayah.

"Ayah ngerti, kamu tertekan. Ayah tau, ini pasti akan terjadi. Kamu siap dengerin ayah?" ucapnya dan aku mengangguk mantap.

"Kien, ayah tau mental kamu masih terlalu belia untuk mengetahui ini." ucapnya dan menunjukan foto wanita hamil yang tengah tersenyum ke arah kamera.

"Itu, ibu kandung kamu."

Satu kalimat itu, bisa membekukan badanku seperti sekarang. Masalahnya, dalam foto itu bukan Bunda Lina, tapi seorang wanita anggun dengan jilbab menutupi tubuhnya yang tengah tersenyum manis seakan dia tersenyum padaku.

"Dia, Annisa Nur Jannah, namanya cantik, secantik orangnya, secantik anaknya." Ucap ayah yang meneteskan air mata. Ayah jarang meneteskan air mata.

"Tutur katanya lembut, hatinya tulus, dan dia tengah tenang menunggu waktu di alam lain. Menunggu waktu untuk bisa bertemu denganmu, Kien. Menunggu waktu untuk berjalan bersama kita di as-shirat, menunggu waktu untuk berkumpul bersama kita di JannahNya,"

"Ibu... udah meninggal?" tanyaku dan ayah mengangguk.

"Dia meninggal,"

"Kien pengen ke makam ibu," ucapku bergetar dan ayah mengangguk.

***

Dengan kemeja putih panjang dan celana jins, aku datang bersama ayah ke tempat ibu dimakamkan. Ayahpun menuntunku ke tempat peristirahatan ibu. Di batu nisannya tertulis.

Wafat: 13 Februari 1998

Tepat ditanggal kelahiranku.

"Ibu meninggal, saat melahirkan aku, iya kan, yah?" tanyaku pada ayah yang baru beres mendoakan ibu.

"Iya," ucap ayah singkat. Itu artinya ibu meninggal gara gara aku?

"Ibu kamu meninggal itu takdir Allah, pernah mendengar orang yang meninggal syahid di jalan Allah, dijamin masuk surga?"

"Iya, Kien tau, Ibu kelak akan masuk surga."

"Ya, dan ibu tidak mau masuk surga sendirian, ibu mau masuk surga sama kita. Ayah mau kamu kabulin satu permintaan ayah," ucap ayah dan aku langsuk menatapnya.

"Jangan mengurangi kebahagiaan ibu, ya?" ucap ayah dan aku mengerti.

"Iya,"

"Kien mau diajak ke rumah nenek gak?" ajak ayah dan aku menggeleng. Rumah nenek terlalu jauh, aku kapok ke sana.

"Rumah nenek jauh, Yah." Ucapku dan ayah tertawa.

"Bukan nenek yang di Solo, tapi yang di Jakarta. Jakarta-Bandung kan gak jauh," ucap ayah. Pasti nenek yang dimaksud, keluarganya ibu. Dan akupun mengangguk.

Dan hari itu juga, ayah mengajakku ke rumah nenek.

***

Setelah menghabiskan waktu tiga jam, akhirnya kami sampai di rumah nenek. Akulah yang pertama kali turun dari mobil. Dan mendapati respon yang mungkin tidak akan pernah aku lupakan.

"Astaghfirullah!" seru salah seorang cowok yang langsung menutup wajahnya saat melihatku. Entahlah, mungkin dia bisa melihat makhluk halus yang betah berada di sisiku. Memikirkan makhluk halus, aku jadi parno.

"Kien, kamu ngumpet dibalik mobil dulu gih," ucap ayah dan aku yang masih shock mengangguk ragu dan bergerak ke balik mobil.

"Ardi, buka mata," ucap ayah dan menyentuh bahu cowok tadi yang membuatnya tidak menutup wajahnya lagi. Walaupun aku disuruh bersembunyi, tapi aku tidak disuruh untuk tidak mengintip.

"Eh, Om Fadli, assalamu'alaikum," ucapnya tersenyum dan salim ke ayah. Dia mengenal ayah, tapi kenapa kayak liat setan kalo liat anaknya?

"Wa'alaikumsalam, tadi itu Kien, dia anak Om, dulu waktu Kien dua tahunan, yang sering main kejar kejaran sama Ardi dan Intan waktu umur 4 tahun," berarti, dulu aku pernah mengenalnya. Kenapa gak kenal terus aja? Kan Ardi ganteng. Eh, apasih aku ini.

Dan wanita paruh baya pun datang dari dalam rumahnya karena mendengar keributan. Mungkin, itu nenek.

"Bu, assalamu'alaikum," ucap ayah dan salim ke nenek.

"Wa'alaikumsalam, udah lama ya Fadli baru ke sini lagi, Zakiena di bawa gak?" Tanya nenek. Ayahpun memberi kode aku untuk keluar dari persembunyian.

Akupun keluar dengan senyum yang malu malu bagong, kalo Arta di sini dia udah ketawa terbahak bahak melihat ekspresi wajahku. Temen macam apa dia?

"Assalamu'alaikum, Nek." ucapku dan mencium tangan nenek yang tersenyum hangat melihatku.

"Cucu nenek udah besar ya, makin mirip ibunya aja," ucap nenek.

Gak nek, ibu terlalu shalehah buat disamain sama aku.

Ardi, cowok yang tadi berteriak dan menutup mukanya ketika melihatku, dia menampakkan wajah datar, tak ketinggalan menunduk seakan tidak mau melihatku, dan pergi ke rumah nenek. Ada apa sih sama cowok itu? Ganteng ganteng kok Freak.

***
AN

Saya kembali dengan... jeng jeng... Islami(c) stories yang ke-2... jeng jeng... (gakpenting)...

P.s: Zakiena emang gak pake jilbab

P.s.s: Ini, cerita abal gue yang lainnya.

Wassalamu'alaikum

3k06 2k16

Do not Look BackTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang