15) Katak Yang Menangis

36 18 0
                                    

[THIS IS JUST A FICTIONAL STORY, DO NOT GET TOO MUCH AND HATE VISUAL CHARACTERS IN REAL LIFE, THANKS]

๑๑⁠)(⁠๑๑

"Tidak perlu malu, Hiroto. Biasa saja, kau kan sedang bicara denganku, sahabatmu sendiri." Ikumi Hiroto melihat Haruto tersenyum padanya. "Kau dan Zihao. Kalian berdua akan menjadi pasangan yang sempurna jika bersama."

Ada satu kalimat yang paling Hiroto ingat dari mendiang ayahnya: kamu tidak akan pernah tahu bagaimana sebuah kehidupan akan berlangsung, jika si pemilik kehidupan itu sendiri tidak berani untuk memulai impiannya.

Sejak ayahnya meninggal diusianya yang baru menginjak sepuluh tahun dan dia harus dititipkan pada bibinya yang miskin — satu-satunya anggota keluarga yang mau menampungnya— sementara ibunya kabur dari rumah sejak dia baru lahir.

Hiroto yang dulu penakut selalu menerapkan kata-kata sang ayah sejak saat itu, tidak ada yang berubah drastis, karena dia tetap Hiroto yang selalu mengkhawatirkan banyak hal, tapi Hiroto selalu yakin dengan kata-kata ayahnya, lalu satu per satu dari ketakutannya akan dunia perlahan menghilang, Hiroto tumbuh menjadi sosok yang berbeda setelah remaja, dia menjadi pemberani, dia mampu mengambil keputusan sendiri dengan segala risiko yang sudah dipertimbangkannya.

Perlahan dengan pasti, dia seakan terlahir kembali menjadi sosok lain yang jauh lebih tangguh. Lebih tangguh dari tembok China sekali pun hingga Hiroto yang saat itu tahu bahwa sama sekali tak ada ketertarikan yang Zihao rasakan padanya, namun dengan nekat dia tetap mengambil risiko membohongi laki-laki itu dengan mengajaknya berpura-pura pacaran setelah tahu bahwa sahabatnya lah pemenang dari kompetisi yang bahkan sebelumnya tak pernah mereka mulai itu.

Ikumi Hiroto tahu bahwa Maeda Haruto tidak pernah membuat kesalahan padanya, tapi Hiroto juga tidak bisa membohongi perasaanya sendiri bahwa dia marah terhadap Haruto yang sudah tanpa sadar memberikannya harapan palsu.

Semakin larut hujan turun semakin lebat malam itu membasahi setiap inci tubuh Hiroto yang semakin melemah, dingin seakan telah merasuk menyatu ke dalam tulang-tulangnya hingga membuatnya sulit mengerakkan kakinya sendiri.

Seharusnya Hiroto segera pulang ke rumah dan melilit tubuhnya dengan pakaian tebal setelah mandi dengan air hangat yang dia panaskan di kompor, tapi begitu dia melihat siluet sepasang laki-laki yang begitu dikenalnya tengah menunggunya di depan rumahnya sambil berpelukan.

Tubuh Hiroto seketika membeku, dia seakan tak mampu bergerak, rumah yang sebelumnya begitu ingin dia tuju kini berubah begitu ingin dia hindari akibat keberadaan keduanya.

Apa salahku hingga harus hidup dalam ketidakpastian semacam ini? Bukankah sebaiknya aku mati dan bereinkarnasi saja daripada harus merasakan sakit yang tak ku ketahui apa obatnya seperti ini?

Hiroto memutuskan melangkah pergi, menghindari teman dan orang yang dia cintai. Namun Haruto lebih dulu menangkap keberadaannya dan segera berlari menghampirinya tanpa menghiraukan lebatnya guyuran hujan sekali pun.

"Hiroto!" teriak Haruto, membekukan persendian Hiroto. "Hiroto!" panggil Haruto sekali lagi.

Remaja itu segera menarik pergelangan tangan sang sahabat begitu sadar bahwa sahabatnya sendiri ingin menghindarinya. Haruto memegangnya erat, Hiroto akhirnya menoleh ketika Zihao juga ikut menanggal namanya. Meski gelap, Haruto tahu sorot mata itu menandakan kebencian yang teramat sangat ditunjukkan padanya.

"Hiroto, jangan pergi. Kau salah paham terhadap kami, ayo bicarakan ini baik-baik di tempat yang hangat," ucap Haruto dengan suara tinggi agar tak kalah dengan lebatnya guyuran hujan. "Aku tidak mau persahabatan kita hancur cuma gara-gara ini," sambungnya.

Hiroto tetap diam membisu, dia seakan enggan mengeluarkan suaranya.

Haruto hendak memeluk Hiroto tapi dengan cepat remaja itu tolak. Haruto tak memaksa dan malah berkata, "Hiroto, maafkan aku."

Zihao tak suka dengan cara Haruto yang seakan merendahkan dirinya sendiri atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Seharusnya dia yang menerima maaf, bukan malah sebaliknya.

"Haruto, hentikan itu." Zihao menarik lengan Haruto dan membuatnya terlepas dari tangan Hiroto. "Kalian hanya perlu bicara dan bukan merendahkan diri seperti itu," katanya, "Hiroto, jangan keras kepala, ayo kita pergi ke tempat yang teduh."

Hiroto menatap Zihao sengit. "Apa urusanmu? Peduli setan, biarkan aku sakit dan mati jika perlu, apa peduli mu? Yang kau pedulikan, kan, hanya Haruto!"

Zihao mendekati Hiroto dengan tatapan mengintimidasi. "Apa peduliku katamu?"

Zihao menunjuk Haruto yang berdiri di belakangnya dan Hiroto.

"Kau tidak melihatnya? Kau tidak mengenalnya? Orang bodoh di belakangku itu begitu mengkhawatirkan sahabatnya yang sama sekali tidak pernah mempedulikan perasannya dan lebih mementingkan perasannya sendiri! Apa urusanku katamu? Jika kau mati, dia akan sedih, dan kesedihannya adalah kesedihanku juga!"

Zihao menekankan tiap katanya dengan urat lehernya yang menonjol, membuatnya terlihat menyeramkan.

"Kau mau mati katamu, hah? Mati saja sana, aku tidak akan peduli lagi padamu! Seperti yang kau bilang sendiri, aku hanya peduli pada orang yang aku cinta, yaitu Haruto!"

Hiroto sudah tahu bahwa Zihao hanya mencintai Haruto, tapi ketika dia mendengar kata itu terucap langsung dari mulut Zihao di depan matanya, dia tetap merasa sangat hancur, teramat sakit hingga bendungan air mata itu tak lagi mampu dia cegah untuk melesak keluar, memperlihatkan kelemahannya pada orang lain.

Beruntung, hujan malam itu menyelamatkannya. Tapi bahkan, tiap tetesnya, tak mampu mengelabuhi penglihatan Haruto yang ikut hancur bersama sang sahabatnya.

"Wang Zihao!" Haruto marah, dia berteriak memanggil nama laki-laki yang telah membelanya dengan murka, dia menarik pundak tegap Zihao dan menyingkirkannya dari hadapan Hiroto, berusaha melindungi sahabatnya. "Kata-katamu itu jahat!"

Tapi Hiroto sama sekali tak terhibur dengan pembelaan Haruto, dia justru merasa semakin marah, harga dirinya hancur, kenapa Haruto justru membelanya setelah dia dicela oleh orang yang dielu-elukannya? Bukankah setidaknya buat Hiroto terlihat jahat saja agar dia tak perlu merasa bersalah? Jika seperti ini keadaannya, Hiroto justru merasa jijik dengan dirinya sendiri.

"Wang Zihao, cepat maaf pada Hiroto!" Haruto menatap Zihao tajam. "Cepat minta maaf atau aku akan membenci kalian berdua sampai mati!"

"Maeda Haruto sudah cukup!"

Pada saat itu, Hiroto bukannya marah pada Haruto, tapi justru marah pada dirinya sendiri, tapi dia terlalu pengecut untuk mengakuinya.

"Kau justru semakin membuatku terlihat buruk! Apa kau memang sengaja ingin melakukannya dengan membuatku terlihat buruk agar kau sendiri jadi terlihat baik di hadapan Zihao?"

Bahkan hujan malam itu tak mampu menyembunyikan air mata kesedihannya.

"Hiroto, aku tidak bermaksud seperti itu," kata Haruto, "aku benar-benar marah pada Zihao soalnya dia sudah tidak sopan padamu. Tapi kalau kau memang benar-benar tersinggung dengan sikapku, aku minta maaf."

Haruto mendekati Hiroto.

"Eh, tapi kau sudah mau bicara denganku, ini artinya kau sudah tidak marah lagi, kan, padaku? Ayo bilang 'iya' dan aku akan mentraktir mu semua makanan kesukaanmu sepuasnya, Hiroto," rayu Haruto dengan senyuman tipis yang menghiasi wajahnya yang sudah mulai memucat akibat kedinginan.

Entah setan mana yang sedang merasuki Hiroto, tangan cantiknya justru menampar pipi sang sahabatnya hingga memerah. Plak!

"Hentikan sikap sok baikmu itu! Aku ... tidak butuh—!"

Belum hilang rasa perih yang bersemayam dipipi kanan Haruto akibat tamparan Hiroto, Zihao yang melihat orang yang dicintainya terluka mengembalikan apa yang Hiroto lakukan terhadap Haruto, laki-laki itu bahkan melakukannya 2x lipat lebih kuat dibanding dengan yang Hiroto lakukan.

๑๑⁠)(⁠๑๑

Notes.

29 Juni 2023*

MAY WE BYE | Wang Zihao - Haruto - HirotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang