14) Akhirnya Pertemanan Mereka Hancur

32 17 1
                                    

[THIS IS JUST A FICTIONAL STORY, DO NOT GET TOO MUCH AND HATE VISUAL CHARACTERS IN REAL LIFE, THANKS]

๑๑⁠)(⁠๑๑

“Karena kau yang telah menyebabkan semua kekacauan ini!”

Plak! Dengan sebelah tangan Hiroto yang bebas, dia menampar Zihao.

“Kenapa harus aku yang menjelaskan padanya? Kau bisa menjelaskannya sendiri jika mau! Atau memang ini caramu untuk mempermalukan ku di depan Haruto, Zihao?” Hiroto menatap Zihao tajam.

Tatapan kagum yang biasanya Hiroto miliki pada Zihao itu sudah tidak ada dalam sorot mata tersebut sekarang, kini yang tersisa hanya amarah.

“Kau ingin menghancurkan persahabatan kami?” sambung Hiroto melanjutkan kata-katanya.

“Persahabatan kalian sudah lama hancur sejak kau memutuskan untuk menghampiriku malam itu di rumah sakit,” balas Zihao tenang.

Seluruh tubuh mereka sudah basah oleh air hujan, tetes airnya menetes dari rambut keduanya yang berponi.

Zihao menatap Hiroto tajam. “Berhenti menyalahkan orang lain atas apa yang tidak bisa kau miliki!”

Air mata Hiroto turun bersamaan dengan derasnya guyuran hujan yang mengguyur tubuhnya yang kian hari kian kurus. “Kenapa aku tidak boleh berusaha memiliki sesuatu yang aku inginkan ketika orang lain boleh melakukannya?!”

Tangan Zihao masih mencengkeram pergelangan tangan Hiroto dengan erat, kuku-kuku jarinya bahkan menggores kulit putih itu saking kuatnya cengkeramannya.

“Hiroto ....”

Zihao marah, terlihat jelas dari emosi yang tergambar di wajahnya.

“Kamu berusaha merebut apa yang seharusnya tidak menjadi milikmu, kau menggunakan, memanfaatkan temanmu untuk mendapatkan apa yang kau inginkan, jangan playing victim!”

Napas Zihao berat lantaran terlalu marah.

“Kau ... egois! Kau terlalu memaksakan egomu hingga lupa caranya berterima kasih kepada seseorang yang selalu membelikan mu buku-buku baru ketika kau tidak mampu membelinya, dia bahkan juga menjauhkan mu dari perundungan ketika kau pertama kali masuk ke sekolah elit tempat anak-anak orang kaya berkumpul dengan beasiswa seadanya. Ingat-ingat kebaikan Haruto kepadamu sebelum kau ingin melukainya!”

Itu adalah kalimat terpanjang Wang Zihao untuk Hiroto.

“Zi-Zihao ... apa kau sama sekali tidak memikirkan perasaanku sedikit saja?”

Zihao melepaskan cengkeraman tangannya pada Hiroto. “Untuk apa aku memikirkan perasaan orang sepertimu?” tajamnya. “Terserah, terserah jika kau ingin pergi. Pergi saja sesukamu. Aku tidak perlu menahan orang sepertimu lagi hanya untuk dimintai kata maaf keluar dari mulut pembohong mu itu.”

Hiroto menelan saliva nya ketakutan melihat wajah menyeramkan orang yang selama ini dikaguminya itu. Kedua tangan, kaki, dan bibirnya gemetar kedinginan.

Malam itu Haruto menyaksikan kedua teman yang disayanginya bertengkar hebat di tengah guyuran hujan di tengah padatnya lalu-lalang mobil di tengah jalan raya.

Hiroto tadi memaksa keluar dari mobil meski pun Haruto dan supirnya sudah mencegah, Haruto ... dia seratus persen merasa bersalah dengan apa yang baru saja dia dengar.

Ketika dia melihat Hiroto lari menjauh dari Zihao menuju tengah-tengah lalu-lalang mobil sementara Zihao sama sekali tak mengejarnya lagi, kaki Haruto secara refleks berlari untuk mengejar Hiroto, tak peduli meski Zihao sudah berteriak berulang kali memanggil namanya untuk berhenti.

Saat itu yang saat itu Haruto pikirkan hanyalah ... sahabatnya, Ikumi Hiroto, yang sedang berlari menjauh darinya. Sahabatnya sendiri untuk yang pertama kali berlari menghindarinya. Haruto tidak tahu apa yang lebih buruk dari kisah persahabatan selain ini.

“Hirotoooo! Tunggu aku! Kita bisa membicarakan ini baik-baik sambil makan dan menghangatkan diri! Hiroto, jangan sembrono seperti bukan dirimu yang biasanya—”

TIIINNNTTT!!

“Aahhh! Hiroto!”

Kaki Haruto lemas dengan jantung hampir berhenti ketika dengan mata kepalanya sendiri dia melihat Hiroto yang hampir tertabrak mobil. Sorot lampu mobil itu menyorot tubuh Hiroto yang jatuh di atas aspal, si pengemudi bertubuh gempal itu sebagian tubuhnya menyembul dari dalam mobil sambil mengomel pada remaja tersebut.

Dia melihat Hiroto sempat meliriknya sesaat sebelum akhirnya kembali berlari, Haruto ingin mengejarnya, tapi rengkuhan kuat dari seseorang di belakangnya mencegahnya untuk pergi.

“Zihao, aku harus mengejar Hiroto!” teriak Haruto sementara tubuhnya basah kuyup.

Zihao menggeleng. “Biarkan dia tetap dengan egonya, Haruto.” Zihao mengencangkan pelukannya. “Jika kau kehujanan terus, kau akan sakit, bukankah kau benci sakit? Jadi, ayo kembali ke mobil.”

Isi pikiran Haruto kosong ketika Zihao menyebut tentang sakit, dia memang sudah sakit. “A-aku memang sudah sakit.” Dan sebentar lagi mungkin akan mati. Kata-kata itu bahkan hampir tak terdengar oleh Zihao lantaran derasnya guyuran hujan dan bunyi klakson di sekitar mereka.

Pada akhirnya, sekuat apa pun Zihao mencegah Haruto agar tidak pergi menyusul Hiroto, perasaan cintanya tetap kalah oleh tekat yang Haruto miliki. Dengan pasrah, Zihao ikut berlari di belakang Haruto. Mengawasinya agar tak terjatuh oleh licinnya aspal yang tengah diguyur hujan deras.

Sayangnya, mereka sudah kehilangan jejak Hiroto. Namun Haruto tahu, di Seoul Hiroto tidak memiliki tempat untuk berteduh selain di rumah bibinya atau di rumahnya.

Jadi keduanya melanjutkan berlari sampai ke sana, ke sebuah pemukiman padat penduduk yang terletak di atas bukit, salah satu rumah warga di sana adalah rumah milik bibinya Hiroto yang Hiroto tempati sekarang.

Haruto tidak pernah ingat mana rumah mereka setiap kali berkunjung, dimata Haruto yang sejak kecil sudah terbiasa dengan kemewahan, rumah-rumah di sana semuanya terlihat sama.

Jadi, Hiroto memasang bendera putih bergambarkan bunga mawar dan stroberi di tengah-tengah dan menancapkannya di atas genting di rumah mereka.

Meski gelap malam berpadu dengan derasnya hujan, meski tanpa penerangan yang memadai, Haruto masih dapat mengenali bendera tersebut, tertancap di sebuah rumah bercat putih terkelupas yang di depan terasnya terparkir sebuah sepeda onthel usang dicat kebiruan.

Tanpa ragu, Haruto mengetuk pintu. “Permisi! Saya Maeda Haruto, teman Hiroto!” teriaknya. Sementara Zihao hanya diam berdiri di belakangnya. “Bibi, permisi!”

Zihao mengambil handuk merah jambu yang telah pudar warnanya yang tersampir di salah satu tiang jemuran dan menyampirkan nya di pundak Haruto. Haruto menoleh padanya bingung.

Zihao tersenyum tipis, terlihat begitu tulus seakan dia sedang memandangi keindahan. “Agar kamu tidak semakin kedinginan.”

Haruto menaikkan handuk tersebut untuk mengeringkan rambutnya. Sudah dua menit mereka di depan teras rumah tersebut, tapi tidak ada siapa pun yang keluar dari dalam. Ketika Zihao mengintip lewat kaca rumah tersebut, di dalam hanya ada kegelapan.

“Zihao, sepertinya sedang tidak ada orang di dalam rumah ini,” ucap Haruto sambil menggigil kedinginan.

Zihao memeluk Haruto dari belakang, berharap bahwa itu dapat sedikit menghangatkan tubuhnya meski pun tubuhnya juga sama-sama basah kuyup.

“Kita tunggu setengah jam lagi, kalau Hiroto tidak muncul juga, kita pulang,” ucap Zihao tegas.

Haruto menggeleng. “Zihao, tapi aku tidak punya waktu sampai besok.”

“Kenapa?” Zihao kebingungan. Sambil memegang kedua lengan Haruto, laki-laki itu kembali bertanya dengan nada khawatir, “Haruto kamu baik-baik aja, 'kan?”

Dari kejauhan, sekitar dua meter dari rumah Hiroto berada. Seseorang terlihat berjalan di tengah guyuran hujan dengan sebelah kakinya yang membengkak diseret.

๑๑⁠)(⁠๑๑

Notes.

28 Juni 2023

MAY WE BYE | Wang Zihao - Haruto - HirotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang