11) Hati Manusia Itu Unik Ya

41 28 0
                                    

[THIS IS JUST A FICTIONAL STORY, DO NOT GET TOO MUCH AND HATE VISUAL CHARACTERS IN REAL LIFE, THANKS]

๑๑⁠)(⁠๑๑


10 menit berlalu, dan Ikumi Hiroto masih terus fokus menulis dan menulis, bibir kemerahannya tak henti bergumam dan kembali mengulangi yang tadi dilakukannya.

Haruto menguap lebar di samping Hiroto yang sedang giat belajar, dia terlalu bosan sampai mengantuk. Karena Haruto benci belajar.

Sangat membosankan, tapi yang membuatnya tak nyaman adalah, kenapa sejak tadi Hiroto tak bertanya padanya kenapa beberapa hari ini dia tak masuk sekolah, ya? Sifatnya juga agak berubah, apa ujian nasional semelelahkan itu hingga dapat mengubah seseorang berubah menjadi jutek?

Saat itu Haruto hanya berpikir: mungkin karena Hiroto sedang fokus belajar.

Hingga jam pelajaran dimulai, Hiroto dan Haruto tetap pada di posisi mereka sejak awal, anehnya Hiroto tetap tak beranjak dari kursinya bahkan pada jam istirahat pertama, kedua, ketiga, bahkan ketika sekolah telah selesai.

Setelah Haruto perhatikan, Hiroto bahkan jarang menggerakkan tubuhnya selain jari-jarinya yang dia gunakan untuk menulis.

Haruto yang sudah bolak-balik dari kantin, perpustakaan, lapangan, dan lain-lain sampai heran melihat Hiroto sejak pagi hanya terus belajar dan belajar. Apa bokongnya tak kram? Apa Hiroto tak kebelet pipis? Yah, beruntung hari ini ada Haruto jadi Hiroto tak kelaparan.

Langit telah berubah menjadi gelap, awan mendung menandakan bahwa sebentar lagi mungkin akan turun hujan. Supir pribadi Haruto sudah datang sejak lima menit lalu, jadi dia mulai memberesi barang-barangnya. Hiroto dan Haruto adalah siswa terakhir di kelas itu.

“Hiroto, mau pulang bersamaku saja tidak? Jangan menolak, ya. Soalnya sepertinya sebentar lagi akan turun hujan,” ucap Haruto sembari memakan permen. “Terus ada yang ingin aku katakan juga kepadamu sebelum nenek lampir itu datang menjemput ku besok.”

Hiroto yang juga sudah mengemasi buku-bukunya menjawab, “Aku selalu merepotkan mu, Haruto.”

Haruto jalan keluar kelas lebih dulu, terlihat lampu-lampu sudah mulai dinyalakan, anak-anak di kelas lain juga sudah mulai berjalan pulang bergerombolan.

Haruto menghela napas sedih, mulai besok, mungkin dia akan merindukan suasana semacam ini. Lalu dia juga tidak yakin apakah di Jepang nanti dia akan disekolahkan lagi atau tidak jika penyakitnya nanti sudah semakin parah.

“Tidak, kok. Kita, kan, teman,” jawab Haruto membelakangi Hiroto. “Teman lebih berharga dari pada apa pun, yah setelah keluarga dan kesehatan, sih.”

Deret kursi Hiroto digeser terdengar nyaring di kelas yang telah sepi. Haruto melihat Hiroto berjalan pincang sambil menyelempangkan tas sekolahnya yang berat.

“Hiroto kakimu kenapa?” tanya Haruto penasaran ketika baru menyadari bahwa sebelah kaki kiri Hiroto bengkak di bagian betis sampai punggung kaki, sehingga membuat Hiroto tak memakai sebelah sepatunya dan menggantinya dengan sandal selop.

“Mungkin karena terlalu lama duduk, jadinya kesemutan,” jawab Hiroto dan Haruto tak percaya.

“Bukan yang itu, tapi yang itu?” Haruto menunjuk kaki Hiroto yang bengkak.

Hiroto mendengus. “Awalnya ini hanya disengat lebah, tapi ... ah, tidak perlu dipikirkan, paling besok-besok juga sudah sembuh sendiri.”

Haruto ingin menanyakan apakah Hiroto sudah memeriksakannya di rumah sakit atau belum, tapi mengingat finansial sang sahabat yang hanya menumpang pada bibinya yang bekerja di pabrik baju. Dia mengurungkan niatnya.

MAY WE BYE | Wang Zihao - Haruto - HirotoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang