Grace POVJill tampak syok pada awalnya. Aku tidak tahu harus melakukan apa, kutinggalkan mereka bertiga dan berlari kecil kekamarku. Harus bagaimana aku setelah ini dengan Jill?
Suara pintu dibuka. Kulihat kepala Jill muncul dari balik pintu.
"Grace......" katanya lembut.
Aku hanya diam, duduk di pinggiran tempar tidur. Ia berjalan pelan, kemudian duduk tepat disampingku. Tubuhku bergetar hebat, bukan karna aku merasa punya feeling padanya, tapi karena malu. Malu padanya karna pemikiran dan mimpi anehku itu. Kini aku benar-benar grogi di dekatnya.
Ia mengusap pundakku pelan. "I wish I am a lesbian..." katanya setengah bercanda. "Kau tahu... adalah wanita terbaik yang pernah ku temui... Siapa yang tidak ingin bersanding dengan Graciella Robbins."
Aku tersenyum sedikit. Dia menarik nafas. "Kau tahu, dulu aku tak habis pikir melihatmu. Cantik, berbakat, kaya, populer, tapi kau dengan baiknya mendekatiku yang gemuk, nerd, tidak pernah dianggap. Tapi aku tahu, wajahmu secantik hatimu. Kau tidak pernah membedakan siapapun untuk menjadi temanmu...". Dia menatapku "Aku juga merasakan hal sama dengan yang kau rasakan. This is friendship feeling. We're mean to be each other. I do love you Grace..." Aku.menatapnya takjub.
"Tapi sepertinya aku harus bersaing dengan Ryan..." katanya lagi. Oh Ryan, pernyataan cinta dan gelangnya... hampir terlupakan.
"Apa yang akan kau lakukan?" kata Jill mengambil gelang dari Ryan dari atas nakas.
Aku tidak tahu. Apa memangnya yang harus kulakukan?
"Kau sekarang sudah tau.....Keputusanmu menerimanya atau tidak pasti berpengaruh pada pertemanan kalian.."
Jleb. Aku terdiam. Jill benar. Bila aku menolaknya, pasti akan ada suasana canggung diantara kami. Jika menerimanya..... Itu akan jauh lebih sulit. Bagaimana dengan persahabatan kami yang rusak? Bagaimana bila kami putus nantinya? Aku sudah banyak mendengar kasus persahabatan yang rusak karena berubah jadi cinta. Mungkin yang dirasakan Ryan bukan cinta, melainkan nyaman sebagai sahabat.
Ya, memang begitu.
"Sebaiknya dia tidak perlu tau kalau aku sudah tau" kataku membuat Jill terkekeh.
*****
Aku sedang menghabiskan film-film yang kubawa dari toko. Hari ini hari Minggu. Aku dan El berbaring diatas sofa Jill sambil menonton sisa film yang tidak sanggup kami habiskan setelah semalaman tidak tidur.
Jill keluar dari kamarnya mengenakan piyama dan kaus kaki.
"Oh syukurlah kalian disini. Ry pulang hari ini. Bilang sama Bram ya. Aku ada janji sore ini"
"Janji dengan siapa?"
"Dengan.... seseorang" jawab Jill ragu-ragu. Ia berjalan menuju dapur sementara mata kami mengikutinya.
"You're dating someone?" Well we got interested in this.
"Kinda" kata Jill sambil menuangkan air ke gelas.
Aku berjalan mendekati Jill yang sedang minum dan menoelnya. "So..... tell me about this guy." Jill terbatuk sedikit dan mendecak kesal.
"He's cute. That's all I know" kata Jill sambil tersenyum, membayangkan sesuatu.
Pfffff. Jill banget. Selalu ga tahan kalo liat cowok ganteng.
"Ehm Jill by the way aku kayanya gabisa pergi ke bandara sore ini. Aku mau verifikasi museum untuk perjalanan studi besok" kata Eloise tiba-tiba. El bekerja sebagai guru taman kanak-kanak. Besok, sekolahnya akan berkunjung ke museum. Kuakui seminggu terakhir ini dia cukup sibuk mencemaskan kelancaran acaranya.
Jill menatapku tidak enak.Bram sedang mengikuti acara kantornya saat weekend dan belum pulang. Aku satu-satunya yang free untuk menjemput Ryan. Ya, kuakui ada perasaan aneh jika sekedar mendengar namanya sejak aku tau dia menyukaiku. Tapi, bukankah aku sudah berjanji untuk melupakan fakta itu? Aku harus menjaga pertemanan kamu. Itu yang paling penting.
"Grace... apa perlu aku membatalkan dinnerku?" Tanya Jill mengisap punggungku.
"Gapapa Jill. Biasa aja lagi" kataku menunduk. Aku tidak ingin ia melihat wajahku.
"Grace.... Jill.... Kalian harus melihat ini." Tiba-tiba terdengar suara Eloise dari ruang tengah.
Eloise duduk di meja makan, dengan tumpukan surat dan tagihan lama didepannya.
Ia menyodorkan kertas kecil padaku.
Bon reservasi Palm Restaurant. Pada malam ulangtahunku. Atas nama Ryan Peters.
Jill, Bram dan El menatapku. Menunggu reaksiku.
Tergambar dipikiranku semua hayalan tentang Ryan, segala perhatian dan kebaikannya untukku.
"Setidaknya aku harus memberi kesempatan untuk hubungan kami" kataku cepat.
Kuambil jaket dan tas selempangku, aku berlari menuju bandara.
******
KAMU SEDANG MEMBACA
It Always Been You
RandomGrace kabur dari rumah karena dijodohkan. Namun, hidup mandiri di tengah kota New York bukanlah hal mudah. Ia yang biasanya berfoya-foya dengan uang ayahnya akhirnya harus bekerja untuk membutuhi hidupnya. Untunglah, ia hidup dengan keempat sahabat...