5. This is a Right Choice

758 35 3
                                    

Aku mengeringkan rambutku dengan handuk sambil berjalan keluar kamar mandi. Kulihat Eloise sedang membaca buku di meja makan sambil meneguk jus. sementara Bram dan Ryan menonton TV sambil memakan sarapannya.

"Morning Grace" sapa Ryan begitu melihatku berjalan menuju dapur.

"Morning" senyumku.

"Mereka memang sering kesini sebelum berangkat kerja untuk sarapan. Biasanya kami selalu sarapan bersama" kata Jill menjelaskan.

"I better go" kata Bram sambil melihat jamnya. Bram memakai kemeja tanpa dasi dan celana hitam panjang.

"Nice look Bram" kataku memuji.Kuakui Bram sangat mempesona dengan pakaian formal seperti itu.

"Thanks Grace. Bye guys. Makasih sarapannya Jill" katanya sambil mencium pipi Jill. Lalu ia memakai sepatu buru-buru.

"Hey, kayanya aku juga harus berangkat. Aku nebeng sampai stasiun kereta ya Bram" kulihat Eloise beranjak dari kursinya.

"Kalian semua bekerja?" tanyaku melihat mereka semua memang sudah berpakaian rapi. Satu-satunya orang yg kulihat selalu bekerja hanya Dad dan teman-teman dokternya dulu.

"Kurang lebih begitu. That's why we can buy stuff" Bram kini berdiri, selesai memakai sepatunya.

"Bye guys" kudengar suara pintu menutup. Kini hanya ada Jill yang sedang mencuci piring, Ry yang sedang menonton TV dan aku duduk disamping Ry menatap kosong kedepan.

Aku merasa minder. Mereka semua bekerja dan punya apartemen sendiri. Mereka hidup mandiri. Sementara aku bahkan belum pernah bekerja seumur hidupku apalagi punya apartemen. Dulu aku hanya menghabiskan waktu di gym atau menonton TV bersama Mom. Kadang aku berbelanja bersama teman- temanku atau nongkrong di Mall. Aku terbiasa hidup bersama Mom dan Dad. Bagaimana kalau aku mengambil keputusan yang salah dengan pergi dari rumah?

"Hey" suara Ry membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum kecut.

"What's wrong?" tanya Ry sambil mengalungkan tangannya di pundakku.

"Aku takut Ry.. Aku takut pilihanku pergi dari rumah adalah kesalahan besar" Aku meletakkan kepalaku di dadanya sambil menahan tangis.

"Hey, memulai sesuatu yang baru memang bukan hal yang mudah. Kau tahu hari pertama aku hidup mandiri? Aku hampir bunuh diri. Kami semua juga mengalaminya. Tapi bukankah cepat atau lambat kita juga harus berhenti bergantung pada orangtua?

"Aku tidak seperti kalian Ry. Aku tidak sekuat kalian. Aku belum pernah bekerja seumur hidupku. Yang kutahu hanya berfoya-foya dengan uang ayahku" Aku menyesali mengapa pikiranku dulu sedangkal itu. Aku tidak pernah memikirkan hari esok, apalagi berniat untuk menata masa depanku.

Ry menatapku dalam. "Bill Clinton" katanya lembut.

Aku mendongak "Apa?"

"Tidak ada yang menjamin kesuksesan Grace, tapi dengan tidak mencobanya, kau telah menjamin kegagalanmu. Bill Clinton thoughts." katanya menjelaskan. "Kau bahkan belun memulainya, kau harus yakin dengan kemampuanmu. Yakini kau bisa. Kau mampu" Ia menggenggam tanganku erat.

Aku menatap Ry kagum. "Thanks Ry"

Kudengar suara keran dimatikan. Sepertinya Jill sudah selesai mencuci piring.

"Ry kau tidak ke toko?" tanya Jill sambil mengelap tangannya. Kulihat Jill tidak lagi memakai jeans dan kaos kedodoran. Setelah celemeknya lepas, barulah kusadari ia memakai gaun hitam polos tanpa lengan. Jill bekerja sebagai instruktur galeri lukisan ternama. Tugasnya memperkenalkan nilai seni, pelukis dan nilai jualnya di pasaran pada para tamu. Karena itu dia harus tampil maksimal setiap harinya. Pelanggannya biasanya orang-orang berkelas dan ekslusif. Sedangkan Rick membuka toko peminjaman dan penjualan DVD.

"Aku belum menemukan penjaga kasir yang baru sejak Phoebe berhenti. Jadi kupikir hari ini lebih baik menutupnya saja"

"Kenapa kau tidak ajak Grace saja?"

"Aku tidak yakin dia mau"

"Ry, tentu saja aku mau! Aku akan melakukan pekerjaan apapun. Hellowww! Aku akan mencoba. Bill Clinton" kataku semangat.

Jill mengernyit bingung dengan maksud perkataanku, sementara Ry tersenyum bangga melihatku menanamkan ajarannya.

"Ayo" katanya tak kalah semangat.

Kami hendak keluar dari pintu. sampai kudengar suara Jill memanggilku.

"Ini kuncimu" kata Jill menyerahkan kucni apartemennya padaku. "Ini rumahmu juga" katanya lagi. Aku tersenyum penuh haru menatap Jill dan Ryan bergantian.

Kupeluk Jill erat. "You're the best all the rest"

It Always Been YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang