Jillian POV
Sepeninggal Lea, El menutup pintu. Kami menatap seluruh apartemen yang berantakan. El memberi kode padaku dan Bram untuk menghampiri Ryan, sementara ia mengambil sapu dan sekop.
"Ry...." panggilku mengusap kepala Ryan.
Ryan menatapku dan kemudian memelukku. Ia menangis sejadi-jadinya.
Aku menepuk-nepuk punggungnya.
"Tidak perlu disesali Ry. Sudah terjadi." Bram ikut bergabung kepelukan kami.
Ryan menutup wajahya dengan tangan "Maafkan aku... aku tidak mendengarkan kalian...."
"Ry... Hey Ryan..." Bram menepuk pipi Ryan. "Kami memaafkanmu. Pastikan dia tidak akan hadir lagi dihidupmu dan membuatmu seperti ini. Berhenti menangis Ry. Berhenti menangis di hadapan perempuan"
Ry tersenyum sedikit karena perkataan Ryan.
"El... bergabung bersama kami. Nanti saja kau menyalurkan hobi bersih-bersihmu itu" teriakku.
El datang dan memeluk Ryan. Ia bernyanyi
Apple sweet.
Apple round.
Apple juicy apple red. Apple Apple I love you.
Apple sweet i love to eat.
Ryan tersenyum lagi.
"Ry, berjanjilah atas nama Apel, pastikan kau melakukan perkataan Bram" kata El.
Ryan mengangguk.
Dia juga melakukan itu saat pertama kali Lea memutuskannya. Mengangguk cepat saat semua berjanji melupakan Lea.
"Ry, kali ini kami mengancam. Tidak ada kesempatan ketiga lagi" tegasku.
"Aku janji"
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Tanya El menyisir rambut Ry dengan jari.
"Aku... tidak tau.... Dadaku sesak"
Lagi-lagi jawaban itu. Jika Ry mengatakan itu, berarti 'aku masih belum bisa merelakannya'
"Ry, kau harus melupakan wanita murahan itu. Dia menghancurkan hidupmu. Dulu dia membuatmu kehilangan pekerjaanmu. Kemudian dia membuatmu hampir kehilangan teman-temanmu, keluargamu... Kau bahkan membuat Grace patah hati..." El dan Bram melotot padaku. Apa yang kuktakan? Aku hanya... Grace?!? Apa tadi aku menyebutkan namanya?!?
"Kenapa Grace patah hati?" Tanya Ryan. Aku tak mampu menjawab.
"Ry, lebih baik kita lanjutkan bicara di apartemen Jill saat semua sudah lebih baik." El menarik nafas
"Ini serius" kemudian ia beranjak.
****
Kami duduk melingkar, bertatap-tatapan satu sama lain. Mencari cara untuk memberitahukannya pada Ryan.
"Ayolah. Apa beritanya seburuk pengalamanku hari ini?" Ryan tampaknya sudah tidak sabar.
"Baiklah. Aku yang memulai. Aku yang akan cerita" kataku mengalah.
Darahku berdesir. Kenapa jadi aku yang jantungan?
"Grace tahu tentang perasaanmu waktu itu" kataku memulai. "Ia ingin memberi kesempatan padamu dan mengejarmu ke bandara saat kau pulang dari Chicago. Tapi dia harus patah hati karena....." Aku berhenti, berpikir mencari kata-kata yg tepat untuk menggambarkan kehadiran Lea. "Kau tidak sendirian" tutupnya.
"Grace.... Grace.... apa?" Ryan berbinar-binar.
"Jangan terlalu semangat Ry, sekarang Grace pergi makan malam dengan William. Jika things work out, bisa aja mereka jadi pasangan long-term relationship" peringat Bram.
"Kau harus siap sama semua konsekuensi akibat perbuatanmu. Dan kalau benar Grace jadian sama William, kamu ga boleh ganggu dia lagi. Janji?" El mengajukan jari kelingkingnya.
Terpaksa Ryan mengangguk dan mengaitkan jari kelingkingnya di tangan El.
Pintu terbuka. Grace pulang.
Tangan Grace memegang kenop pintu, namun bibirnya bertautan dengan milik Ryan. Tampaknya ia tidak menyadari kehadiran kami.
"Ehem" deham Bram.
Grace dan William tersadar dan melepaskan ciuman mereka.
"Good night Grace" kata Will mengusap pipi Grace.
"Nite Will...." katanya sambil tersenyum malu.
Kulihat Ryan tertunduk.
Grace menutup pintu. Ia tidak berhenti tersenyum pada kami semua.
"Aku tidak bisa berhenti tersenyum..." katanya bahagia. Kami semua diam saja menatapanya. "Aku menyukai Will. Dia pria baik" katanya, masih tersenyum. Ia terlihat creepy.
"Oh ya. Hampir lupa. Gimana dengan the enggangement guy, yuhuuuu" katanya menoel Ryan. Ryan semakin tertunduk.
"Sssttt" Jill menyikut Grace.
"Apa?" Grace tampak bingung.
Jill menggeleng, memberi isyarat untuk tidak membahasnya lagi.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
It Always Been You
RandomGrace kabur dari rumah karena dijodohkan. Namun, hidup mandiri di tengah kota New York bukanlah hal mudah. Ia yang biasanya berfoya-foya dengan uang ayahnya akhirnya harus bekerja untuk membutuhi hidupnya. Untunglah, ia hidup dengan keempat sahabat...