22. Dua Garis Merah

595 18 0
                                    

Jillian POV

Ryan seperti mayat hidup. Sudah satu bulan ini dia tidak keluar apartemen dan membuka toko.

Grace juga sama buruknya. Ia mengambil cuti dari World Window dan menolak semua komunikasi untuknya, termasuk Will. Ah ya Aku juga sampai lupa, sesaat setelah Grace mengusir Ry, dia meninggalkan pesta dan memutuskan hubungan dengan Will.

"Sampai kapan kita harus melihat mereka berdua seperti ini?" Tanya El sambil menggigit croissantnya.

Aku baru saja akan menjawabnya namun Grace keluar dengan piyamanya.

"Pagi Grace..." Sapa Bram.

"Ayo sarapan. Mau kubuatkan kopi?" Tawarku.

"Perutku sedang tidak enak. Aku ingin ke kamar kecil dulu." Jawabnya sambil memegangi kepalanya.

Dan tampaknya Grace benar-benar sakit. Suara muntahnya terdengar hingga ruang makan, membuat kami bertiga kehilangan selera makan. Aku bahkan tidak heran jika ia akan muntah separah itu dengan pola makan yang tidak beres selama sebulan belakangan ini.

Grace keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. Aku dan El segera menopangnya, membantunya berjalan hingga ruang makan.

"Minumlah dulu. Akan kubuatkan bubur susu kesukaanmu." Kataku menyodorkan air hangat.

"Jangan katakan bu..." Grace berlari ke kamar mandi dan muntah lagi.

Kali ini aku dan El menyusulnya. Ia berkeringat dingin.

"Aku ingin tidur saja. Kepalaku sangat berat." Kata Grace.

"Kau harus makan. Apapun. Mau kubuatkan sesuatu?" Tanyaku.

"Bisakah kau membuatkanku Truffle? Dengan dua lapis selai stoberi" katanya lemas.

"Aku akan membuatnya selagi kau tidur. Istirahatlah. El, antar dia kekamarnya"

Sebenarnya membuat truffle bukanlah keahlianku. Kami biasa membelinya di toko pinggir jalan dekat toko Ry setiap ulangtahun Ry. Ry suka sekali truffle dari toko itu. Ah ya, aku ingat. Grace tidak biasanya suka makan makanan manis. Kenapa tiba-tiba ingin makan makanan kesukaan Ry? Sebegitu rindunya dia dengan Ry? Apa dia ingin berbaikan dengan Ry?

"Jill, aku ingin bicara denganmu" Bram baru saja keluar dari kamar mandi dan mengejutkanku.

"Apa?"

"Kau harus jawab aku dengan jujur" kata Bram sungguh-sungguh. Ia menatapku dalam. Sepertinya serius.

"Ya, cepat katakan. Jangan buat aku penasaran." Desakku.

"Apa kau hamil?"

Pertanyaan Bram membuatku hampir menjatuhkan adonan kue. Apa? Kesimpulan macam apa itu?

"Apa? Aku gendutan ya?" Kami tidak punya timbangan di rumah ini, terakhir kali aku menimbang berat badanku adalah saat Bram dirawat dirumah sakit dan aku baik-baik saja. Beberapa hari terakhir kami memang sering menghabiskan waktu hingga tengah malam menonton TV sambil membicarakan tentang kemungkinan selanjutnya untuk Grace dan Ryan. Aku mungkin minum beberapa gelas alkohol. Apa aku benar-benar akan kembali menjadi gendut lagi?

"Jadi benar Jill? Oh My God. What you're gonna do?" Suara Bram sedikit meninggi.

Aku ikut panik "Hah? Tidak-tidak. Aku tidak...."

"Ayolah Jill. Jujur padaku." desak Bram

"Tentu saja tidak. Bagaimana kau bisa berpikir begitu? Aku bahkan tidak punya pacar!!!" Kataku setengah berteriak. Aku ikut panik karena masih mencerna semuanya. Aku bekerja keras untuk bisa sekurus sekarang. Dan aku terlalu takut untuk menjadi gendut lagi.

El keluar dari kamar Grace. "Bisakah kalian diam?!? Grace sedang tidur."

"Lalu ini milik siapa?" Tanya Bram sambil meletakkan sebuah benda diatas meja. Sebuat testpack. Ada dua garis merah disana.

"Punyamu El?" Tanyaku.

"Aku bahkan bukan penghuni apartemen ini. Kenapa menuduhku? Kan yang tinggal disini hanya kau dan..."

"Grace" kataku lirih. Semua perilaku sensitifnya, mual-mual di pagi hari, dan badannya yang membengkak membuat semuanya menjadi jelas.

"Jill... Apa kau sudah sempat membuat trufflenya? Tiba-tiba saja aku ingin makan pie. Aku tidak ingin truffle lagi" Grace keluar dari kamarnya dan sontak kami bertiga menatapnya.

"Grace, duduk." Kataku.

"Ada apa?" Tanyanya bingung.

"Jill, calm down," kata El menenangkanku.

"Siapa Ayahnya?" Tanyaku langsung. Kuletakkan testpack yang ditemukan Bram dikamar mandi di hadapnnya. Grace tampak terkejut.

"Darimana...."

"Jawab saja. Apa itu Will? Apa kau ingin aku menemuinya? Dia harus bertanggung jawab" kataku sarcastic.

"Bukan, bukan dia" jawab Grace membuatku geram.

"Jadi siapa? Aku tidak ingat kau punya hubungan dengan pria lain selain Will dalam beberapa bulan terakhir. Bagaimana kau bisa semurahan itu?" Amarahku berada di ubun-ubun.

"Jaga bicaramu Jillian" kata Bram mengingatkan.

"Kalau itu bayi Will, aku tidak akan semarah ini Bram. Aku akan mendukungnya. Aku akan membantunya mengambil keputusan. Aku akan..."

"It's Ryan's" kata Grace lalu pergi dan membanting pintu kamarnya.

Kami bertiga saling bertatapan. Kapan Ryan dan Grace berhubungan fisik?

****

It Always Been YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang