Grace POV
"AAAAAAAAAAAAA" jeritku tertahan. Seluruh tubuhku bergetar. Pria itu tak memakai sehelai benang pun, begitu juga aku. Dia tampak terkejut melihat kehadiranku.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku sambil berusaha menutupi tubuhku dengan selimut. Aku menyesal tidak mengunci pintu setelah meneguk beberapa pil tidur semalam. Kalau tau begini aku lebih baik tidak tidur karena insomnia.
"Aku... aku tidak ingat...." katanya mengusap-usap kepalanya berusaha mengingat-ingat. "Siapa kau?"
"Ini kamarku sejak semalam" Aku menjambak rambutku stress, kemudian beranjak sambil menahan selimut ditubuhku.
Tok....tok... tok...
"Grace... Apa kau sudah bangun?" kudengar suara Jill diseberang.
"Ya Jill..." kuusahakan suaraku agar tidak bergetar.
"Aku akan berangkat kerja. Sarapan ada di meja. Makanlah sebelum dinginn..." katanya. Kemudian kudengar helaan nafas. "Bisakah kau membersihkan pecahan lampu dan piring pajanganku nanti?"
"Ya, akan kusempatkan.." kataku menatap Ryan penuh kebencian.
"Oh ya, kalau kau kesepian nanti, pergilah kesebelah. Sepertinya Ryan sudah pulang sebelum aku bangun. Aku mengetuk pintunya beberapa kali tadi, sepertinya ia belum bangun.."
"Thanks Jill..." kudengar langkah kaki menjauh dan pintu apartemen ditutup.
Sekitar lima menit aku dan Ryan hanya diam dan tak berkata apapun.
"Kuharap kau tidak ada niat untuk memberitahu Jill soal ini. Rahasiakan saja" kataku akhirnya.
"Baiklah...."
"Grace. Grace Robbins. Biasakan untuk hafal nama gadis yang kau tiduri" kataku sinis.
"Baiklah Grace..." ulangnya.
"Pergilah. Sekalian bawa sepreinya untuk dilaundry agar Jill tidak curiga. Pasang kembali sebelum Jill pulang kerja" kataku memerintah.
Kulihat dia diam saja sambil memakai boxernya. Diambilnya seprei itu dan pakaiannya, kemudian keluar tanpa berkata-kata lagi. Ia memang masih tampak seperti orang yang patah hati. Mungkin aku terlalu keras padanya. Ia pun tidak menyangka hal itu akan terjadi pada kami.
*****
Selesai sarapan, aku menghabiskan waktu dengan menonton televisi. Waktu berjalan begitu lama, membuatku merasa bosan.
Beberapa menit berpikir, akhirnya kuketuk juga pintu aparteman Ryan.
"Hey" katanya begitu melihatku.
"Aku datang untuk mengambil sprei" kataku tersenyum.
"masih di mesin cuci, mungkin beberapa menit lagi selesai, masuklah" katanya ramah.
Aku mengamati apartemennya, sedikit lebih luas dan lebih mewah dari apartemen Jill. Aku memasukkan tanganku ke kantong jeansku untuk menghilangkan grogi.
Aku menarik nafasku dan tersenyum padanya. Ia juga membalas senyumku grogi. Beberapa menit kami hanya saling membalas senyum seperti orang gila.
"Aku minta maaf karena sinis padamu tadi pagi" kudengar ia menghela nafas karena perkataanku, suasana grogi tadi berubah menjadi mencekam.
"Aku juga minta maaf karena telah.... karena telah...."
"Mulai sekarang berjanjilah jangan pernah bahas itu lagi, meskipun hanya ada kita berdua sekalipun. " kataku menyodorkan jari kelingkingku.
Ia tertawa dipaksa, kemudian mengaitkan kelingkingnya padaku.
"Kuharap kita bisa berteman..." katanya lagi
"Ya" kusodorkan tanganku padanya. Ia menatapku heran. "Kita butuh perkenalan yang wajar. Bukan dalam keadaan mabuk atau perkenalan melalui hal lain" jelasku. Ia menjabat tanganku erat
"Ryan Peters"
"Grace Robbins"
"Kalau boleh tau sejak kapan kau tinggal bersama Jill? Ia tidak memberitahuku sedang butuh roomate"
" Sejak semalam. Aku dan Jill sangat dekat ketika SMA, dan menghabiskan waktu bersama-sama. Sampai akhirnya saat promnight Jill memberitahuku bahwa dia akan pindah bersama keluarganya ke Kanada. Itu pertemuan terakhir kami sampai akhirnya semalam. Jill menemukanku. All messed up, homeless, no job, no money...." Ry menatapku iba.
Aku menarik nafas, melanjutkan ceritaku. "Aku tinggal bersama orangtuaku. Ayahku seorang dokter jantung dan ibuku tidak bekerja. Semua orang menganggap kami keluarga bahagia, aku juga dulu begitu. Ayahku selalu membangga-banggakanku sebagai putri sulungnya. Ia menuruti semua permintaanku dan memanjakanku. Sampai semalam, aku diajak kesebuah makan malam mewah bersama rekan kerjanya. Ia mengadakan pesta besar di rumahku. Kupikir itu wajar, ia sedang merayakan hari ulangtahunnya. Aku pun turut bahagia melihat wajahnya yg begitu bahagia. Sampai aku mendengar kalimat itu..... 'Aku sangat senang dan bangga di hari ulangtahunku ini mengumumkan pertunangan putri sulungku Grace Robbins dengan Gary Borrowski, seorang dokter muda yang berbakat' Semua orang disana bertepuk tangan. Pandangan mata kagum tertuju padaku. Kulihat Ayah merangkul seorang laki-laki yang nerd yang bahkan tidak kukenali. Akhirnya aku pergi... and here I am" kataku mengakhiri cerita.
"Perjodohan" katanya seakan menganggap hal itu adalah hal biasa.
"Ya, orangtuaku sangat kuno. Bayangkan, aku bahkan tidak pernah bertemu si Gary something ini dan tiba-tiba aku bertunangan dengannya. Tidak lucukan?"
"Tunggu kubayangkan" katanya pura-pura berpikir.
"Aku..,"
"Tunggu aku sedang membayangkan Gary" potongnya. Aku mendelik kesal.
"Aku hanya hiperbola menyuruhmu membayangkan, aku tidak benar-benar menyuruhmu membayangkannya..." ujarku sambil menimpuknya dengan bantal. Wajahnya memang sangat mengesalkan ketika berpikir. Atau ia memang sengaja agar aku kesal.
" Ryann.... Grace..... " terdengar suara Jill memasuki apartemen Ryan.
"Apakah kalian berdua memang tidak terbiasa mengetuk pintu satu sama lain?" kataku mengejek. Ya, kulihat mereka berdua memang bebas masuk ke apartemen satu dengan yang lainnya.
"Kami bertukar kunci untuk berjaga2 hal yang penting. Dan itu tidak hanya berlaku untuk kami berdua saja..." kata Ryan menjelaskan.
"There are more crazy people like you?" kataku membelalak.
"Hey kita sudah pindah basecamp ya?" sebuah suara bariton mengejutkanku. Seorang laki-laki dan seorang perempuan masuk. Laki-laki itu tampak berotot dan berbadan tegap. Rahangnya kokoh namun tatapan matanya teduh. Sedangkan yang perempuan itu memakai dress bunga selutut dibalut kardigan merah muda, rambutnya diikat satu tinggi dan memakai pita. Ia menenteng satu kraft bir.
"Kenalakan Grace, ini Eloise dan Bram. El, Bram, kenalkan ini Grace"
"Hey Grace" kata Bram dan Eloise tersenyum.
"My roomate" jelas Jill pada Eloise dan Bram.
Malam itu kami minum bir dan makan pizza sepuasnya. Aku tidak lagi mendengar ceramah Mom tentang diet dan menjaga badan, aku tidak lagu mendengar Dad menegur jumlah botol bir yang kuhabiskan, Aku tidak lagi mendengar teguran akan kasarnya kata-kataku. All happiness and laugh.
I feel home....
KAMU SEDANG MEMBACA
It Always Been You
DiversosGrace kabur dari rumah karena dijodohkan. Namun, hidup mandiri di tengah kota New York bukanlah hal mudah. Ia yang biasanya berfoya-foya dengan uang ayahnya akhirnya harus bekerja untuk membutuhi hidupnya. Untunglah, ia hidup dengan keempat sahabat...