BAGIAN 1 : Namanya Rakan

8.4K 501 33
                                    

BAGIAN 1 : Namanya Rakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BAGIAN 1 : Namanya Rakan.
“Nina, gue ke sana ya?”

Suara Gistara dengan nada suara yang syarat kekhwatiran kini memenuhi rungu miliknya. Kabar tentang kemunculan anak laki-laki suaminya mulai merebak hingga tetangga depan rumah, Sabian memberitahu Kenandra barangkali.

“Enggak usah, Ra. Gue baik-baik aja kok. Tenang gue lebih tegar daripada lo,” guraunya yang mendapat decakan malas dari perempuan di seberang jalan.

“Gue udah jalan ke sana ini,” katanya.

“Percuma, Ra. Orang gue lagi enggak di rumah,” balasnya sembari menyeruput kopi pahit yang dipesannya lima menit yang lalu.

“Lo kabur?”

“Sembarangan kalau ngomong! Ya enggak lah anjir, emang gue selemah itu apa?” sentaknya tak terima yang kini mengundang tatapan aneh dari para pengunjung.

Hanina menundukkan kepala kepada para pengunjung untuk meminta maaf. Ia tersenyum tak enak, lantas mengumpat di dalam hati.

“Kirain kabur. Lagi di mana lo?”

“Kenapa?”

“Gue mau nyusul.”

“Enggak perlu. Kalau lo nyusul yang ada malah ngacauin ketenangan gue.”

Lalu, umpatan kecil itu terdengar sebagai balas. Hanina tertawa saja, ia tak ingin orang-orang melihatnya dalam kondisi yang seperti ini. Hanina Ayunda yang orang-orang kenal adalah sesosok perempuan tangguh tanpa peduli apa saja ujian yang sedang dijalaninya.

“Kalau lo udah mau gue temenin kasih tahu, ya!”

“Terima kasih tapi kayaknya harapan lo enggak bakal terealisasikan.”

“Terserah lo! Intinya kalau udah ngerasa mau mati, ingTerserahet gue selalu ada buat lo!”

“Lebay! Anyway thank you, Ra. Lo emang teman gue yang paling baik,” balas Hanina dengan senyum tulus yang ia punya.

“Gue tahu. Udah ya, semangat menggalaunya. Bye, girl!”

“Sinting!”

Pendar cakrawala mulai berganti. Menggeser peraduan senja yang sedari tadi menemani Hanina menikmati secangkir kopi hitam di bawah sejuknya angin sore yang bertabrakan dengan dedaunan trembesi. Sedangkan pikirannya, kini berkelana pada pagi tadi ketika Sabian datang kepadanya sembari memperkenalkan seorang anak laki-laki berusia delapan tahun kepada dirinya.

“Namanya Rakan usianya delapan tahun,” katanya pagi tadi.

Kata demi kata yang tersusun menjadi satu kalimat terdengar sangat baik dalam indera pendengaran Hanina. Suasana tegang di  suatu pagi yang seharusnya menyenangkan rasanya masih terekam jelas dalam ingatannya. Tentang bagaimana Sabian menatap dirinya dengan tatapan yang syarat akan sebuah permohonan maaf. Juga kebingungan yang terpancar pada sepasang bening yang sedari tadi hanya menatap dua orang dewasa itu dengan pertanyaan-pertanyaan yang berkembang di dalam kepala.

“Hanina, aku akan menjelaskan semuanya ke kamu.” Sabian berujar demikian.

“Aku akan mendengarnya. Tapi bukan sekarang. Nanti kalau aku sudah siap.”

“Sayang, Demi Tuhan Nina aku enggak berbohong apa pun sama kamu. Aku jelasin sekarang, ya?”

“Nanti, Mas. Aku bilang nanti. Aku mau nenangin diri aku dulu.”

“Sayang...”

“Tolong...”

“Oke. Nanti malam kita bicara. Ya?”

“Iya.”

Hanina mengembuskan napasnya yang memberat untuk yang ke sekian kalinya. Rasanya ada sebongkah beban berat yang menghimpit pada ruang-ruang dada. Mencipta nyeri yang berulangkali terasa mengusik hati. Selepas percakapan mereka pagi tadi, Hanina memilih menepi sebab hati mulai teriris perih. Ketika tanpa sengaja netranya berserobok dengan kedua mata bening milik makhluk kecil itu, dadanya seperti terbentur benda tumpul yang rasanya begitu menyesakkan.

Mengapa dia harus hadir di kala mimpinya baru saja dirajut bersama Sabian. Mengapa Rakan harus ada sebagian wujud cinta dari sepasang manusia yang memadu kisah di masa lalu.

Namun, seketika ia merasa terluka dengan pemikiran-pemikiran jahat yang baru saja tercipta. Rakan tidak bersalah. Anak laki-laki itu tak memiliki salah apa-apa sebab yang berdosa adalah kedua orang tuanya.

Cintaku ❤️ : Sayang, kamu di mana?
Hanina membiarkannya. Notifikasi itu hanya dibacanya tanpa ada niatan untuk membalas pesan dari sang suami. Lalu tak lama, sebuah panggilan telepon datang dari Sabian. Berdering berkali-kali, namun tetap saja Hanina memilih untuk mengabaikannya.

Secangkir kopi americano yang ia pesan kini mulai tandas yang kemudian hanya meninggalkannya jejak-jejak hitam pada cekungan cangkir. Senja yang indah nan menenangkan di ujung barat perlahan mulai pudar tergerus langit malam.

Jakarta malam hari masih sama seperti hari-hari lalu. Ramai, lalu lalang kendaraan, macet, juga asap kenalpot yang bercampur dengan aroma wangi parfum para muda-mudi. Di batas kota yang menurut sebagian orang terasa sedikit menenangkan, nyatanya masih sama saja seperti tempat-tempat yang pernah disinggahinya beberapa hari terakhir. Riuh dan bising seolah telah menyatu, menjadi satu bagian dari kota ini yang tak akan pernah lekang paling tidak sepuluh hingga dua puluh tahun ke depan.

Namun bagi sebagian orang, Jakarta mungkin saja menjadi salah satu kota yang paling indah yang pernah mereka jumpai sebab cinta mereka bertemu di kota ini. Terajut bersama derum kendaraan yang berlalu lalang, kemacetan yang tak pernah hilang, juga keindahan senja yang terhampar di setiap sore menjelang.

Cinta yang tumbuh tanpa rencana itu perlahan-lahan berkembang menjadi bagian dari cerita hidup yang tak akan lekang oleh ingatan. Sebab selamanya, kisah itu akan selalu hadir dalam sanubari hingga dunia tak lagi menggenggam tangan mereka.

Namun, bagaimana dengan kisah cinta yang berisi kesedihan di dalamnya? Akankah mampu bertahan lama seperti kisah cinta milik Habibie dan Ainun atau justru akan berakhir seperti kisah cinta milik Dilan dan Milea yang berakhir melegenda setiap kali teringat sudut-sudut Kota Bandung.

🌷🌷🌷

Hanina pulang ketika jarum jam bergerak menuju angka sepuluh malam. Lampu-lampu yang biasanya berpendar di setiap sudut rumah juga mulai padam menyisakan beberapa sinar. Rumah sudah sepi dan hanya Pak Arman yang menyambutnya datang di gerbang depan. Biasanya juga begini, Sabian jarang pulang. Bukan jarang, hanya saja tidak sesering pasangan suami istri lainnya. Sebab pekerjaannya yang mengharuskan ia seperti demikian.

“Nina...”

Panggilan itu mengagetkannya. Ia menoleh, lalu suara saklar lampu yang menyala masuk merayapi indera pendengaran. Ruangan seketika benderang, menampakkan dua orang dewasa itu dengan sorot lelah pada masing-masing tatapan.

“Baru pulang, Love?”

“Aku capek. Mau istirahat dulu,” pamitnya hendak menghindar.

“Mau sampai kapan kamu menghindari permasalahan ini?”

Sampai kapan? Sampai hatinya siap.
“Demi Tuhan aku ngantuk. Aku mau bersih-bersih dulu.”

“Jangan biarkan masalah ini berlarut-larut, Nina. Aku enggak mau hubungan kita kenapa-kenapa.”

Hanina mendengus. “Dengan adanya masalah ini saja, sebenarnya pernikahan kita sedang kenapa-kenapa.”

“Demi Tuhan aku enggak pernah nutupin apa pun sama kamu, Nin. Aku juga enggak akan tahu kalau aku punya anak sama Senada kalau aja dia enggak menghubungi aku dua hari yang lalu.”

“Sebelum kita menikah, aku udah jujur tentang semua keburukan aku sama kamu. Jadi untuk hal yang sekrusial ini enggak mungkin aku bohong sama kamu, Nina.”

Pembicaraan ini akan berlangsung lama. Sebab nyatanya pembicaraan mereka tidak hanya sekedar kehadiran Rakan sebagai anak kandung Sabian.

“Kamu masih cinta sama ibunya Rakan?”

“Love—“

“Mbak Senada adalah perempuan yang pernah sangat kamu cintai 'kan? Kalian putus juga karena Mbak Senada dijodohkan dengan suaminya yang sekarang. Jadi bukan enggak mungkin kalau kamu masih punya perasaan sama Mbak Senada. Apalagi ada Rakan sekarang.”


– Jakarta, 24 Mei 2023 –

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

– Jakarta, 24 Mei 2023 –

🌹🌹🌹

Happy reading!

Sending love,
aliumputih_ ❤️

Hold On Tight (SPIN OFF DESIDERIUM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang