BAGIAN 6 : Senada dan Pagi yang Menyebalkan.

4.9K 309 30
                                    

Pertemuan itu nyatanya mencipta dampak yang tidak biasa bagi Hanina. Hidup dalam satu atap bersama masa lalu suaminya sama sekali tidak pernah ada di dalam bayangan kepalanya. Nyatanya nama Senada Pradita memberikan efek sebesar itu bagi Hanina juga Sabian. Entah karena Hanina yang merasa kurang percaya diri atau karena Sabian yang belum benar-benar melupakan nama Senada dari ruang hati miliknya.

Pagi yang biasanya diisi oleh hal-hal yang terasa hangat kini seperti beku sebab entah mengapa mereka merasa seperti itu. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar pagi ini. Tiada ucapan selamat pagi dari Sabian, ocehan absurd Sabian yang menggoda dirinya, atau pun cerita-cerita random yang biasa Sabian bagi kepadanya.

“Nad, habis ini saya antar kamu ke rumah depan, ya.”

Senada yang duduk bersebrangan dengan Sabian kini mendongakkan kepalanya. Tatapannya yang sayu berserobok dengan netra bening Sabian yang sedang duduk bersebelahan dengan Hanina.

“Iya,” balasnya sembari tersenyum.
Hanina hanya menyaksikannya. Tanpa berniat untuk menyela, ia membiarkan kepalanya diisi oleh banyak kalimat tanya yang tak bisa ia pahami.
Rumah depan? Rumah siapa?

“Ayah, aku senang deh bisa sarapan bareng Ayah dan Mama begini. Dulu Papa Naren jarang mau kalau diajakin Mama sarapan bareng. Ya 'kan Ma?”
Senada membalas anaknya dengan senyum kikuk. Lalu pandangannya beradu pada tatapan milik Hanina.

“Oh, iya?”

Rakan mengangguk antusias. “Iya, Ayah. Kenapa Ayah enggak jadi Ayahku dari dulu aja biar kita bisa seperti ini dari lama?” tanyanya dengan suara yang terdengar...sedih?

“Ya udah yang penting ‘kan sekarang Rakan udah bisa makan bareng Ayah dan Mama bersama-sama,” balas Senada lembut. Namun bagi Hanina itu terdengar begitu menyebalkan. Tanpa sadar ia memutar bola matanya malas.

“Iya, mulai hari ini Ayah akan menebus waktu-waktu Ayah yang hilang sama Mas Rakan.”

Mendengar itu Rakan tersenyum bahagia. Binar-binar matanya menyala kala netranya memandang ayahnya. “Ayah, Mama bisa jadi istri Ayah seperti Ibu?”

Brak!

Semua orang yang ada di meja makan kini mengalihkan tatap kepada Hanina.

“Nanti kalau udah selesai cuci sendiri ya piringnya. Saya sudah nyiapin sarapan soalnya!” katanya. Lalu berdiri, meninggalkan meja makan menuju wastafel untuk mencuci piring yang baru saja ia gunakan.

“Nin...”

Panggilan Sabian yang menggema mengiringi derap langkahnya ia abaikan begitu saja. Biar aja. Biar sadar.

Didiamkan lama-lama ngelunjak.

"Ibu kenapa, Ma?"

🌹🌹🌹
“Wah, gila! Enggak pernah gue bayangin ada di posisi begini sepanjang gue hidup!” gerutunya sembari menatap nyalang pada sekumpulan keluarga bahagia yang masih berada di ruang makan.

“Gue serasa jadi yang ketiga di sini,” katanya lagi. Tak habis pikir.

“Mending Gistara ini sih. Gue dulu ngata-ngatain dia sekarang gue malah lebih parah. Shit!”

“Bu Nina kenapa?” Suara Bi Sundari terdengar menyapa pada rungu milik Hanina. Perempuan berusia lima puluh tahun-an itu datang sembari membawa beberapa tentengan di kedua tangan kanan dan kiri miliknya. Habis belanja dari pasar barangkali.

Hold On Tight (SPIN OFF DESIDERIUM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang