09; Jamanika

287 105 73
                                    

Sudah tiga hari semenjak Raden dan yang lainnya pergi mencari jawaban yang ia inginkan, namun semuanya nihil. Tak ada satu pun petunjuk yang berguna. Raden merasa kesal, apa benar tak ada cara untuknya kembali? Mana mungkin ia bisa terus hidup di dunia orang.

"Haahhh... Andai saja ada Gendis disini, pasti aku tak akan merasa kesepian," keluh Raden akhirnya. Ia sangat merindukan kembarannya itu.

"Tunggu—"

Raden beranjak dari duduknya, matanya melolo. Ia baru ingat akan satu hal. "Jika sekarang aku berada disini... Lalu bagaimana dengan tubuhku?" gumamnya, seketika hatinya gusar. Dadanya terasa sesak. Tak sanggup memikirkan kemungkinan terburuk.

"Tidak, tidak. Tak mungkin aku mati dengan cara konyol seperti ini. Tak akan aku biarkan," tekadnya. Meski ia berkata seperti itu, jauh di dalam lubuk hatinya ia tetap merasa khawatir.

"Siapa yang mati?" ujar Renjana seketika. Ia mengintip ke dalam ruang baca dimana Raden berada saat ini.

"Ah, itu. Tokoh di film yang aku dan Anang tonton kemarin, katanya tokoh utamanya mati," ucap Raden asal-asalan. Renjana mengangguk memahami.

"Ohh, aku kira siapa."

Renjana kemudian melangkahkan kakinya, memasuki ruang baca dan duduk di sofa yang tersedia. Ia menopang dagu-nya dan menatap Raden. "Ternyata kamu juga punya sisi yang seperti ini ya, An. Rasanya berbeda sekali," ucap Renjana, masih mengamati lekukan indah pada rupa sang lakon.

"Bicara apa? Kamu mengejek-ku ya, Arsha?" balas Raden. Renjana tertawa dibuatnya.

"Hahaha, mana ada! Aku serius, Arlan, kamu kan nggak pernah serius dalam segala hal," cibirnya.

Raden mengalihkan pandangannya, "Nggak sebegitunya juga, kali. Memangnya aku dulu seburuk itu apa," ucap Raden tak terima. Meski itu bukan dirinya, rasanya seperti ditampar kenyataan.

"Kalau nggak percaya tunggu aja sampai ingatanmu kembali," ucap Renjana di sela tawanya. Sebenarnya tanpa diberi tahu juga Raden sudah paham Arlan itu memang orang yang tak pernah bisa serius.

"Kamu nggak bosen duduk disana sepanjang hari?" ucap Renjana ketika suasana mulai hening.

"Nggak." Jawab Raden singkat. Renjana mendengus kesal mendengar perkataannya. Ternyata masih sama cuek-nya.

"Huhh, kalau gitu aku baca bukumu yang ada disini ya," ucap Renjana, tak mau lagi berdiam diri memandangi orang di hadapannya itu. Ia mengamati semua buku yang berada di rak sebelahnya, kemudian tersenyun ntah karena apa. Ia lantas menggapai sebuah buku yang penuh debu.

"Kamu masih menyimpan buku ini?" Renjana mengambil buku itu dan menunjukkannya pada Raden. Bingung dengan maksud Renjana, Raden memiringkan kepalanya. Memangnya ada apa dengan buku itu?

Renjana tersenyum kembali, memandangi buku yang ia bawa. "Ini kan buku yang waktu itu mau kamu kasih ke aku, gara-gara aku ngerengek pingin novel bahasa asing. Jadi kamu diem diem ambil di kamar bundamu hahaha, terus dimarahin deh," ujar Renjana. Masih menatap buku itu lekat-lekat.

Dibukanya halaman-per-halaman, sedikit mengenang masa kecil yang terbilang lucu. Meski dahulu Arlan ingin memberikan buku ini padanya, Renjana tak pernah menerimanya. Karena sebelum diberikan, Arlan lebih dulu ketahuan oleh ibu nya, ia dimarahi karena sembarangan mengambil novel cinta milik sang ibu. "Haduhh, le. Kalau mau novel bahasa asing bilang saja, kenapa ambil punya bunda? Ini kan novel untuk orang dewasa..." ucap ibunya dulu, Arlan malah menangis saat itu juga. Dipikir lagi, Arlan lucu juga.

Sruukk...

"Eh?" Renjana terkejut saat secarik kertas jatuh dari buku itu. Ia kemudian mengambilnya, takut jika barang itu hilang.

Radenmas JagadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang