10; Segenggam Ingatan

284 93 52
                                    


Catatan : Page ini merupakan flasback dari masa kecil Jagad, Gendis dan Handaru yang di ceritakan pada page sebelumnya


Semasa itu, para penerus keraton tengah asyik dengan dunia-nya sendiri; bermain bersama tanpa memedulikan urusan kerajaan, politik juga pandangan orang lain terhadapnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semasa itu, para penerus keraton tengah asyik dengan dunia-nya sendiri; bermain bersama tanpa memedulikan urusan kerajaan, politik juga pandangan orang lain terhadapnya. Mereka berbaur tanpa membedakan status. Ntah itu anak dari sang Sultan itu sendiri, anak dari si selir, bangsawan dan pegawai kerajaan maupun anak si pengasuh.

Namun, lain hal-nya dengan sang pangeran. Semenjak dirinya diutus sebagai penerus, Radenmas Jagad tak lagi bisa bermain sepuasnya selayaknya anak seusianya; sepuluh tahun. Sungguh membosankan, bukan? Apalagi jika mengalaminya langsung.

"Jagad! Kamu tahu tidak, tadi aku dan Handaru bermain bersama anak-anak lainnya di luar Keraton! Huhh, seru sekalii." Sorak gembira dari Radenroro kecil, Gendis.

"Kalau kamu ikut pasti tambah seru, Jagad." Usul Handaru kemudian. Gendis pun mengangguk sebagai respon. Keduanya kini sedang mengunjungi kamar Jagad, menceritakan berbagai cerita menarik sebagai teman bicara sang pangeran.

Jagad terdiam, raut mukanya murung mendengarkan cerita lucu dari kedua saudaranya. Netra kecilnya ini akhirnya menatap mereka sendu. Dapat dilihat keduanya kini tersenyum penuh harsa. Kenapa seakan-akan semua anak bahagia tanpa dirinya?

"Aku pun ingin ikut main..." ujar Jagad pelan, masih menatap keduanya. Nada bicaranya semakin mengecil, rasanya iri sekali. Pada awalnya, Jagad merasa senang karena kedua saudaranya ini menyempatkan waktu untuknya dan bercerita keseharian mereka. Namun, semakin lama, Jagad merasa tak senang hati.

"Jagad, jangan bersedih seperti itu," ucap Gendis. Hatinya terasa sakit melihat saudara kembarnya murung. Padahal niatnya kemari untuk menghibur Jagad.

Suasana dibuatnya hening, tak ada satu pun kata yang berani dilontarkan. Gendis dan Handaru saling tatap, memberi isyarat untuk mengatakan sesuatu. "Tak apa, Jagad. Aku akan bicara pada ayah, untuk menyampaikan pada Baginda supaya jadwalmu diperlonggar," ujar Handaru.

Namun Jagad masih bergeming tak merespon.

"Padahal kita kembar." Gumam Jagad.

"Apa?"

"Padahal aku dan kamu kembar, Gendis. Tapi kenapa hanya aku yang harus duduk dan belajar mati-matian tanpa istirahat, kenapa hanya aku seorang diri?" lanjut Jagad. Handaru serta Gendis kini kelabakan dengan pertanyaannya, bingung harus menjawab seperti apa. Jika salah sedikit saja, bisa-bisa Jagad tersinggung.

"Jika memang kembar, seharusnya dilahirkan dengan kelamin yang sama pula. Kenapa hanya aku yang menjalankan ini semua?" sambung Jagad, meluapkan emosinya pada saudarinya.

"Uhh, i-itu... itu karena..." Gendis tak tahu harus menjawab apa. Sebetulnya ia pun enggan untuk bertukar posisi dengan Jagad, karena dirinya paham sebagaimana kesibukan Jagad selama ini. Makanya, Gendis sangat bersyukur dilahirkan sebagai perempuan.

Radenmas JagadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang