Setra-6

2.3K 241 8
                                    

𝐍𝐚𝐬𝐞𝐭𝐫𝐚 𝐀𝐟𝐚𝐝𝐥𝐲

𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠 𝐬𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧𝐲𝐚!!


...


Semenjak mengatakan isi hatinya pada Ibran semakin hari Setra semakin dekat saja dengan sahabat abangnya itu.

Ibran selalu menyempatkan menyapa Setra dimanapun dan kapanpun, pemuda itu juga sering kali menginap hanya untuk menemani Setra yang tampak sekali kesepian.

Soal Lofa, sakitnya pemuda itu membawa sedikit perubahan padanya, dia menerima perlakuan baik Setra dan tak jarang juga berterimakasih.

Selama sakit itu Setra mengurusnya dengan sangat baik meski terkadang Setra tetap kena bentakan Lofa. Anak itu tak peduli dan benar-benar serius tentang menyayangi abang galaknya tanpa alasan.

Seperti biasa Lofa melakukan rutinitas paginya. Pemuda itu sarapan ditemani dengan beberapa jadwal kegiatannya hari ini. Namun, ada yang mengganjal dihati Lofa begitu melihat rumah yang kosong.

"Tumben tu anak belom turun? Mana dari tadi juga nggak keliatan ya?" gumam Lofa heran.

Biasanya Setra akan sibuk dengan rutinitas paginya membuat sarapan berupa roti isi selai kesukaanya. Dan tak lupa, beberapa bunyi-bunyian yang pasti berasal dari barang-barang yang terjatuh pun akan terdengar.

Tapi, hari ini suasana sunyi. Dan Lofa tak melihat batang hidung anak itu.

Sementara itu, di kamar dengan nuansa biru muda Setra tengah bergerak gelisah menahan sakit kepalanya. Perlu di ketahui Setra itu kurang bisa menahan rasa sakit. Walau demam ringan anak itu akan merasa sedih dan kewalahan. Bahkan sering kali Setra menangis terus-menerus hingga membuat demamnya malah menjadi lebih tinggi.

Setra memejamkan matanya diiringi isak tangis pelan. Rasanya kepalanya ingin pecah saja saat ini. Sakit sekali.

"Ayah.. Bunda.. Abang.."

"Sakit.."

"Tolongin Setra.." lirihnya.

Setra berharap jika abangnya akan datang dan membantu merawat dirinya seperti saat Setra merawatnya beberapa hari yang lalu. Tapi, itu kan tidak mungkin terjadi.

"Lo ngarep apa sih, Setra? Abang nggak mungkin mau kesini walaupun terpaksa." Runtuknya pada diri sendiri.

Sebetulnya sakitnya ini juga salahnya. Kemarin dia berinisiatif membelikan makan malam untuk dirinya dan abangnya dengan menerobos hujan deras menggunakan motor Ayahnya. Harusnya Setra tahu batas tubuhnya sendiri dan berteduh terlebih dahulu, namun karena takut abangnya kelaparan Setra malah menembus hujan deras dan berakhir basah kuyup hingga menggigil.

Setra tak menyangka jika dirinya akan sakit begini. Apalagi dirinya juga sempat merasa sakit hati saat abangnya membuang makanan yang ia beli dengan alasan tak suka menunya. Padahal Setra sebetulnya tahu alasan sebenarnya di balik itu.

Pasti alasan utama Lofa adalah karena rasa bencinya. Setra yakin itu.

.

.

Lofa berjalan di koridor kelas menuju ke kantin dengan santainya. Ini sudah jamnya makan siang dan saat ini dirinya serta Ibran berniat untuk mengisi perut mereka.

"Lof, ke kelas Setra yok! Ajakin dia makan." ajak Ibran.

Lofa menghentikan langkah begitu mendengar nama Setra. Sebetulnya Ibran sudah sering kali mengajak Setra makan bersama, dan Lofa pun tak mempermasalahkan asal Setra tak berbicara padanya. Itu adalah salah satu bentuk terima kasihnya karena Setra mengurus dirinya waktu sakit.

"Gue nggak liat dia tadi pagi, bisa jadi anaknya bolos," celetuk Lofa dengan santainya.

"Jangan suka nuduh lo. Cek dulu aja yok!"

Lofa menghela napas pasrah. Dua remaja itu pun langsung menuju ke kelas Setra.

Begitu sampai di kelas Setra keduanya bertanya pada salah satu murid. Katanya Setra tak masuk tanpa keterangan. Hal itu tentu saja jadi beban pikiran Ibran dan Lofa.

"Gue bilang apa, anaknya pasti bolos deh." ucap Lofa sembari menusuk baksonya kesal.

Entah mengapa begitu mendengar Setra tak masuk sekolah rasanya begitu kesal, padahal buat apa ia peduli?

"Gue nggak percaya deh kalo dia bolos gitu aja. Perasaan gue malah nggak enak tau nggak? Gue takut dia kenapa-napa sendirian." Ibran tak bohong jika dirinya sekarang sedang cemas. Ibran berkali-kali menghubungi nomor Setra, namun tak sekalipun anak itu menjawab.

Lofa yang melihat bagaimana cemasnya Ibran mendengus. Ia mengaduk makanannya dengan tak berselera hingga tiba-tiba Ibran menggebrak mejanya lumayan keras. Lofa sampai terlonjak kaget karenanya.

"Lo apa-apaan sih?! Hampir aja tumpah!" kesal Lofa.

Ibran saat itu tak peduli pada wajah kesal Lofa, yang pemuda itu lakukan hanya menyodorkan ponselnya pada Lofa yang masih kebingungan.

"Eh, ini beneran?" tanya Lofa dengan polosnya.

.

.

Setra bukan tipe anak yang suka menyusahkan orang lain walau keadaannya tak baik-baik saja. Namun, kedatangan pamannya ke rumah bisa dianggap suatu kebetulan atau tidak?

Rey Anggara, atau lebih akrab disapa Om Rey menyimpulkan jika kedatangannya ke rumah sang adik adalah suatu kebetulan yang baik. Bagaimana tidak, Rey yang saat itu minta izin Lofa untuk beristirahat di rumahnya di kejutkan dengan keadaan Bungsu adiknya yang tak baik-baik saja.

"Baru dateng udah di bikin jantungan sama si bungsu. Lia.. Lia.. Anak kamu ini emang sesuatu," komentar Rey sembari mengusap sayang kepala si bungsu yang tertidur.

Bisa di bilang Rey sudah biasa merasakan cemas seperti ini. Ia yang tinggal hanya beda kota, dan itupun hanya berjarak 3 jam saja membuat Rey begitu sering mendapati si bungsu seperti ini. Daya tahan anak ini memang agak berbeda, dan itu pula lah yang mendorong Rey untuk sering menjenguk putra-putra adiknya. Hanya memastikan keadaan saja sebenarnya.

Asyik dengan kegiatannya mengusap kepala si bungsu, Rey melihat kelopak mata anak itu yang perlahan terbuka. Beberapa kali ia meringis pelan dan memegangi kepalanya yang masih pusing.

Setra belum menyadari jika di sampingnya ada sang paman yang sedikit membantu pergerakannya. Hingga ketika kesadaran Setra telah penuh, barulah anak itu melotot dan langsung terduduk dengan wajah kaget.

"Om Rey!!!"

Rey cengengesan melihat wajah terkejut si bungsu.

"Halo adik manis~"

-

𝐊𝐚𝐩𝐚𝐧-𝐤𝐚𝐩𝐚𝐧 𝐥𝐚𝐠𝐢 𝐲𝐚.

𝐒𝐞𝐞 𝐲𝐨𝐮 𝐧𝐞𝐱𝐭 𝐭𝐢𝐦𝐞!!


Dikit aja yaaa. Lagi kagak enak badan akutuh. Udah gitu mau minta tolong pun nggak ada orang🥺🥺🥺

NASETRA AFADLY [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang