07 - Perdebatan Nyeleneh

44 8 3
                                    

Reva menelan ludah kasar dengan susah payah setelah mendengar penuturan Vero. Menggigit bibir bawahnya sedikit kuat, guna meredam kegugupan yang seketika ia rasakan, wanita cantik itu terkekeh kikuk sembari mengalihkan pandangan.

Mengabaikan debaran jantung yang mendadak menggila, memompa aliran darah ke sekujur tubuh dengan tempo cukup cepat, Reva mati-matian berusaha untuk tidak menunjukan, bahwa efeksi dari tindakan juga penuturan Vero, begitu memberi pengaruh luar biasa bagi dirinya.

Manik mata hazel indah wanita cantik itu gemetar, bergerak acak, menatap permukaan dinding yang tiba-tiba lebih menarik dibandingkan jika harus terus menatap Vero.

"Uncle lucu banget. Tadi aku cuman bercanda sama Bang Gevan, Uncle. Jadi jangan dianggap serius, ya?"

Vero tersenyum miring. Mengangguk paham, pribadi tampan itu menatap gemas Reva yang kikuk juga begitu salah tingkah di hadapannya itu. "Oh gitu. Kamu cuman bercanda, ya?" tanyanya, bernada mengejek.

Reva tertawa kecil, meluruskan pandangan, setelah mengumpulkan keberanian, mempertemukan lagi manik mata hazel indahnya dengan manik jelaga Vero yang tengah menatapnya, lekat.

Merenggangkan bingkai birai yang tampak agak gemetar, wanita cantik itu tersenyum kikuk. "Iya. Aku cuman bercanda, Uncle."

"Ok."

Reva menundukan pandangan, menilik bagaimana dekatnya ia dengan Vero, lantas berdehem. "Ngomomg-ngomong, Uncle gak mau lepasin aku? Mau sampe kapan, kayak gini? Punggung Uncle, emangnya gak pegel, ya?" celotehnya, jelas mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Vero diam, bergeming, selagi membiarkan manik mata jelaga indahnya menilik Reva, sampai istri cantiknya itu kembali membalas tatapannya.

Reva menelan ludah dengan kepayahan untuk kesekian kali, sebelum kemudian cengengesan tidak jelas, mencoba menyembunyikan kecanggungan. "Uncle bukannya tadi mau sarapan? Yok sarapan yok. Ini udah mau siang. Kasian cacing di perut Uncle udah kelaperan."

Mengoceh lagi, Reva berusaha untuk membangkitkan diri, hendak turun dari kursi yang sedang diduduki, jika saja sang suami tidak tiba-tiba semakin mendekatkan diri.

Terkesiap, Reva memundurkan setengah tubuhnya, hingga permukaan punggung wanita cantik itu melakukan kontak dengan tepian meja.

Manik mata hazel Reva membola juga gemetar, menatap manik jelaga Vero yang tengah menatapnya lekat, dengan balasan tatapan nanar. "Uncle mau ngapain?"

"Kalau saya bilang, saya mau ganti menu sarapan saya, apa boleh?"

Kerutan yang tampak cukup dalam menyembul di permukaan kening Reva, sampai hampir membuat kedua alisnya yang bersebrangan, saling bertautan, membersamai mata yang memicing, menatap Vero, setengah kaget, juga bingung. "Uncle mau sarapan pake apa? Mau aku masakin? Tapi Uncle kan tahu, aku gak bisa masak, kecuali masak aer sama masak mie instan pake rawit sama telor. Uncle mau aku masakin itu?"

Vero terkekeh, lalu menggeleng. "Enggak."

"Terus? Uncle mau makan apa buat sarapan? Pesen aja, gimana? Atau mau sarapan di luar?"

"Kenapa ngasih solusi yang repot, kalau kamu bisa ngasih yang simple."

"Aku dari tadi perasaan cuman nanya. Gak ngasih solusi sama sekali," cicit Reva, dengan begitu lugunya.

Seperti tidak pernah merasa lelah, wanita cantik itu selalu saja memiliki susunan kalimat cukup panjang untuk menyahuti perkataan Vero yang acap kali begitu singkat.

Satu kalimat pria tampan itu paparkan, maka akan dibalas lebih oleh Reva, yang agaknya suka sekali mengoceh.

Tidak terdengar menyebalkan apa lagi mengganggu, justru ocehan Reva acap kali membuat Vero gemas bukan main, hingga tak kuasa menahan bingkai birai untuk setidaknya merenggang, mematrikan senyuman.

Menikah Demi PerceraianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang