08 - Perceraian Setelah Pernikahan

60 9 7
                                    

"Haha, Uncle lucu banget bercandanya," kilah Reva, berpura-pura menganggap perkataan Vero tak lebih dari sekadar gurauan belaka, padahal rasa gugup yang sedari tadi sudah hinggap dalam relung, sukses dibuat semakin mengungkung.

Vero tersenyum miring, lebih ke - menyeringai ngeri penuh arti. "Siapa yang lagi bercanda?"

Terus mengambil langkah maju, untuk mengikis segala jarak yang terbentang diantara dirinya dan Reva, sedang Reva melakukan hal yang berlawanan - masih bertekad untuk mempertahankan jarak, Vero tersenyum penuh kemenangan, begitu menyempatkan diri, melirik ke arah belakang tubuh Reva.

Reva sampai saat ini belum menyadari, jika ruang yang bisa ia gunakan untuk terus menghindar dari Vero semakin menipis, sebab di belakang sana - tepatnya di belakang tubuh Reva, tertata wastafel tempat pencucian piring, sedang disampingnya terdapat lemari es berukuran cukup besar.

"Uncle ih! Gak lucu! Stop, gak?" titah Reva sembari menghentak kesal dan memberi Vero tatapan jengkel.

Wajah cantik wanita itu agak memerah, memancarkan semburat kepanikan, sementara manik matanya gemetar, tak teralihkan barang sedetik pun dari wajah juga mata Vero.

"Saya gak lagi ngelawak, kenapa harus lucu?" tanya Vero dengan nada suara dinginnya.

"Aduh!" Reva mengerang pelan, saat permukaan punggungnya beradu dengan pintu lemari es.

Sontak langkah mundur wanita cantik itu terhenti saat itu juga. Melirik ke belakang dengan pergerakan cepat, bibirnya mencebik, sebal.

"Uncle ih! Aku bilang stop!" Reva menjerit panik sambil mengulurkan kedua tangan, membiarkan telapak kecil berjemari lentiknya mendarat tepat di permukaan dada bidang Vero.

Vero menghentikan langkah, berdiri begitu dekat, hanya berjarak kiranya setengah meter saja jauhnya dari Reva.

Memiringkan kepala, menatap wajah cantik Reva yang sudah masam, ia tersenyum. "Saya belum mulai, kenapa udah minta stop?"

Reva menghentak lantai, kesal. "Uncle kok jadi mesum, sih?"

"Mesum?" Vero terkekeh tak habis pikir sembari menengadahkan pandangannya, sesaat. "Emang saya abis ngapain, sampe kamu bilang saya mesum?"

"Ini apa? Uncle mepet-mepekin aku gini, abis bilang mau ngajakin praktek bikin dedek bayi? Kalau gak mesum, apa namanya?"

Vero tersenyum tipis. "Ok deh. Saya gak masalah, mau kamu anggep mesum atau apa. Terserah. Tapi, mau kan?"

"Apa?"

"Bikin dedek bayi? Kan tadi bilang, boleh. Kamu sendiri udah ngakuin saya sebagai suami kamu. Kamu secara langsung, udah ngasih lampu ijo ke saya, karena udah bilang, saya berhak ngelakuin apa aja ke kamu."

Reva menelan ludah kasar dengan susah payah. "Kapan?"

"Tadi."

"Aku gak bilang gitu ke Uncle, ya. Aku bilang gitu ke Bang Gevan."

"Iya, emang. Makanya saya bilang, enggak secara langsung. Karena kamu ngomongnya ke Gevan, tapi tepat di depan saya. Itu tandanya, kamu ngasih kode ke saya, kan?"

Reva menggeleng, tegas. "Enggak, kok. Uncle aja salah nangkep. Aku tadi itu cuman lagi bercanda."

"Tapi kenyataannya emang saya udah jadi suami kamu. Itu artinya, candaan kamu sama Abang kamu tadi itu, emang ada benernya."

"Y-ya, iya sih."

"Ya udah. Ayok gas. Bikin dedek bayi."

"Enggak!" Reva refleks menjerit dan memberi tekanan berarti di permukaan dada bidang Vero, saat suami tampannya itu mengambil satu langkah besar untuk maju mendekat.

Menikah Demi PerceraianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang