05 - Keluhan Si Rewel

45 9 5
                                    

"Uncle! Uncle kenapa sih, jadi mendadak nyebelin?!" Reva merengek sembari memutar tubuh, begitu dirinya yang kala itu tengah berdiri menghadap meja pantry, mendengar suara derap langkah pelan, mendekat - menuju ke arahnya.

Vero yang baru memasuki area dapur sampai stagnan, seketika menghentikan langkah, menoleh ke arah Reva, melongo menatap istri cantiknya itu.

Reva menatap Vero yang berdiri mematung di dekat ambang pintu dapur dengan tatapan tajam. "Udah dua kali loh, Uncle ninggalin aku, pas Uncle abis grepe-grepein aku!" rengeknya lagi.

Mata Vero membulat.

"Rev!" menyeru pelan, Vero menempelkan jari telunjuknya yang mengacung di depan bibir, memberi tanda pada Reva, agak tidak melanjutkan rengekan.

Mengabaikan tanda yang Vero berikan, Reva menundukan pandangan. "Uncle gak boleh seenaknya gitu, dong. Grepe-grepein aku. Cium-cium aku, terus pergi gitu aja," lanjutnya.

Sejatinya, Reva saat ini sedang mencurahkan kekesalannya terhadap Vero, sebab suami tampannya itu, kembali melakukan hal yang sama, dengan apa yang telah dilakukannya, semalam.

Vero tadi pergi begitu saja, meninggalkan Reva di ruang tamu, setelah membuat jantung wanita cantik itu hampir saja copot dari tempatnya.

Katanya mau membersihkan diri dulu, saat benak Reva bekerja lambat, sama sekali belum memahami dengan jelas, apa yang tadi terjadi.

"Rev!" Vero menyeru lagi, sedikit memberi tekanan, agar membuat Reva bersedia mendengarkan.

Akan tetapi, tentu Reva tetaplah Reva. Dengan sikap kenakak-kanakannya, yang acap kali begitu bebal, memang - wanita cantik itu tidak mengindahkan seruan Vero.

"Uncle tahu, gak?" Reva menengadah, menoleh ke arah Vero, menunjukan raut wajah masamnya. Ia menatap Vero dengan tatapan jengkel. "Jantung aku tadi hampir copot, gara-gara Uncle tiba-tiba cium aku. Abis itu, Uncle lagi-lagi pergi gitu aja, kayak semalem. Uncle hobi banget ya, ngelakuin itu?" ocehnya, masih melanjutkan rengekan.

Mendengkus, Vero mengusap kasar permukaan wajahnya menggunakan telapak tangan, sambil memejam sesaat.

Pandangan pribadi tampan itu tertunduk. Ia juga mengatupkan bingkai birai cukup rapat, mencoba menahan rasa jengkel yang tiba-tiba saja menyeruak memenuhi relung.

Menengadah, Vero mempertemukan lagi pandangannya dengan Reva, sambil tersenyum. "Rev-"

"Uncle diem dulu!" titah Reva sambil mengacungkan jari telunjuknya ke arah Vero dan memberi suaminya itu tatapan garang, tidak membiarkannya merampungkan perkataan. "Aku belum beres ngomong!"

Vero melongo lagi, menatap Reva nanar. Mengerjap, mulut pria tampan itu sedikit menganga, belum sempat terkatup selepas dibuat diam seketika, oleh Reva.

"Aku gak suka, ya. Uncle terus-terusan gituin aku. Mungkin sekarang aku masih bisa ngasih toleransi." Reva menyedekapkan kedua lengannya di dada, menunjukan postur tubuh juga gelagat arogan luar bisa.

Manik mata hazel indah wanita cantik itu agak menyalang, menatap Vero tajam, syarat akan sebuah peringatan. "Karena kita baru nikah, mungkin Uncle baru berani cium aku aja. Siapa tahu, kalau udah lama, ntar Uncle berani unboxing aku. Aku gak mau dan gak bakal terima ya, kalau sampe itu kejadian, Uncle masih ninggalin aku gitu aja. Uncle ini mau enaknya sendiri, atau apa sih? Aku gak ngerti."

"Reva de-" "Aku bilang, Uncle diem!" pungkas Reva, masih tidak mengijinkan Vero angkat suara.

Wanita cantik itu menenggerkan jari telunjuknya yang mengacung di bibir, memberi titah pada Vero dengan penuh tuntutan, mutlak tidak menerima penolakan, apalagi sebuah bantahan.

"Aku masih belum beres ngomongnya. Mumpung tiba-tiba dan entah dari mana aku punya keberanian buat ngomong sama Uncle, jadi aku mau luapin semua kekesalan aku, sekarang!" Reva mengoceh dengan intonasi suara yang agak meninggi, bertempo cepat, sudah hampir menyerupai seorang penyanyi Rap.

Vero membuang napas kasar. Melemaskan persendian di kedua bahu, membiarkannya melunglai begitu saja.

Manik mata jelaga Vero menatap Reva dengan tatapan pasrah, tahu jika sang istri sedang bersikap keras kepala, rasanya percuma saja, memintanya untuk diam, saat sikap rewelnya mulai kambuh seperti sekarang ini.

"Aku gak tau loh, kalau pernikahan itu bisa bikin sikap orang berubah, cuman dalam waktu satu malam aja." Reva lanjut mengoceh lagi.

Melepaskan sedakepan kedua lengan, wanita cantik itu menundukan pandangan, memutuskan kontak mata yang sedang berlangsung dengan Vero.

Sesekali permukaan kening Reva mengernyit, memetakan kerutan yang cukup dalam, sampai membuat kedua alisnya yang bersebrangan, hampir saling bertautan.

Wanita cantik itu terlalu serius memokuskan seluruh atensi pada setiap keluh kesah yang ingin sekali disampaikan terhadap sang suami.

Raut wajah yang berubah-ubah tatkala mulut kecilnya sibuk mengoceh, membuatnya tampak begitu menggemaskan dalam pandangan Vero, hampir saja melenyapkan rasa kesal, karena harus menghadapi sikap bebal juga keras kepala istri cantiknya itu.

"Uncle sebelum nikah gak kayak gini, loh." Reva menengadah, mempertemukan manik hazel indahnya yang gemetar dengan manik jelaga Vero, menatapnya, keheranan. "Uncle gak pernah cium aku secara tiba-tiba," imbuhnya.

Vero membuang napas kasar. Mengatupkan bingkai birai cukup rapat, ia lantas menggeleng tak percaya, sebelum kemudian mulai mengayunkan tungkai, berjalan mendekat, menghampiri Reva yang melanjutkan ocehan tidak bergunanya.

Pandangan Reva teralihkan lagi, tidak beradu tatap dengan Vero, wanita cantik itu menatap nanar salah satu sudut ruang di hadapannya.

"Tapi bakal aneh juga sih, kalau Uncle ngelakuin itu pas kita belum nikah," cicit Reva.

Kekehan pelan menguar, lolos begitu saja melakui celah antara bingkai birai Vero yang sedikit berjarak.

Menghentikan langkah, berdiri tepat di belakang tubuh Reva, Vero tersenyum melihat juga mendengarkan istri cantiknya itu asik sendiri dengan ocehannya.

"Pokoknya, lain kali Uncle gak boleh gitu lagi. Uncle gak boleh pergi gitu aja, ninggalin aku, pas Uncle abis cium a-" Ocehan Reva terhenti, tepat saat wanita cantik itu menoleh, mendapati Vero berdiri dalam jarak yang begitu dekat dengan dirinya.

Mata Reva membola, sedang mulut kecilnya sedikit menganga. Mendadak, suaranya seperti tertahan, membersamai debaran jantung yang bertempo cepat.

Vero menyeringai ngeri penuh arti. Membungkukan sedikit tubuh, mencondongkan diri ke arah Reva, memastikan posisi wajahnya berada sejajar dengan wajah cantik istri rewelnya itu.

Meniup pelan wajah Reva, membuat pelupuknya mengatup sebentar kemudian mengerjap lucu, Vero tersenyum. "Udah, ngocehnya?"

"H-ha?"

Vero terkekeh gemas. "Intinya, kamu mau ngasih tau saya, kalau lain kali saya nyium kamu, saya gak boleh langsung pergi gitu aja. Iya, kan?"

Menelan ludah kasar, Reva manut saja, langsung mengangguk, membenarkan perkataan Vero.

Vero tersenyum. "Ok. Bakal saya usahain. Lain kali, abis nyium kamu, saya gak bakal langsung pergi. Kalau perlu, langsung unboxing kamu aja. Ngajakin kamu praktek bikin dedek bayi."

Reva menggigit gugup bibir bawahnya dan menelan ludahnya lagi dengan kepayahan. "Ma-maksud aku, g-gak kayak gitu loh, Uncle."

Tersenyum manis, Vero melabuhkan telapak tangannya di puncak kepala Reva, memberi usapan sayang di sana. "Nih," ucapnya sembari mengulurkan tangan, menyodorkan ponsel yang sebenarnya sedari tadi tengah ia genggam, ke arah Reva.

Reva menunduk, menatap bingung benda pipih itu beberapa saat. "A-Apa?"

"Abang kamu, nelpon."

Mata Reva membulat, menyorotkan keterkejutan. "Abang?"

Vero mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Abang kamu. Gevan."

Reva menunduk, menatap kaget benda pipih yang masih berada dalam genggaman Vero. Ia menelan ludah kasar dengan susah payah. "Jadi ... dari tadi-" "Abang kamu, dengerin semua ocehan kamu."

Bersambung ....

Menikah Demi PerceraianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang