Part. 12 - Trotoar

1.5K 326 33
                                    

Selamat hari Selasa. 💜

Ibarat bak yang sudah penuh, yang kalau mau diisi air lagi pasti luber dan berjamur, ada kalanya kita perlu kuras bak sampai tuntas baru bisa diisi kembali. Setelah seminggu nangis terus, aku merasa lebih baik walau masalahku belum selesai.

Saat ini, aku pengangguran, dan aku nggak tahu harus mulai darimana. Aku harus pikirkan tentang biaya hidup sehari-hari, juga kedepannya harus bagaimana, jadinya overthinking sampai semuanya. Aku bahkan sampai mikir kalau kena karma karena keluar dari rumah dengan dalih buat mandiri dan nggak tahan sama orang tua yang pilih kasih.

"Lu makan kayak kesetanan! Selow aja, nggak ada yang bakalan ngambil lele lu!" suara Zozo yang terdengar sewot membuat aku menoleh untuk mendapatinya terlihat judes.

Satu orang yang menambah beban pikiran, yaitu Zozo. Aku heran banget sama dia yang suka berubah-ubah, sebentar perhatian, sebentar judes, sebentar kalem, sebentar ngaco. Intinya, dia suka nggak jelas.

"Gue laper," jawabku dengan mulut penuh.

Aku kelaparan. Bertahan hidup hanya dengan minum sereal dan biscuit karena nggak nafsu makan. Aku tahu itu nggak baik tapi senggaknya aku sadar kalau apa yang kulakukan merugikan diri sendiri.

"Baru merasa laper setelah bikin rese? Udah tahu kan kalau masalah cuma dipikirin doang nggak bikin kenyang? Harus berusaha dan cari solusi. Gerak! Bukan nangis mulu!" omel Zozo dan kembali menggigit ayam gorengnya.

Zozo pesan makanan selalu berlebihan tapi juga selalu habis. Dia memesan pecel lele sampai lima, ayam goreng lima potong, berikut tambahan seperti tempe, tahu, ati, ampla, dan lalapan. Aku kaget banget tapi jadi malu sendiri kalau ternyata aku sanggup ngabisin dua pecel lele berikut tempe dan tahu, dan sekarang otw lele ketiga.

"Gue tahu kalau nangis nggak kasih solusi tapi cuma itu yang bisa gue lakuin," balasku.

"Trus, sekarang lu udah bisa apa setelah nangis semingguan?" tanya Zozo balik.

"Makan lele sampe tiga biji, nihhh," jawabku sambil memamerkan lele goreng yang sudah kumakan setengah.

Zozo berdecak kesal. Untung saja, kedai pecel lele itu hanya ada kami berdua karena sudah lewat jam makan malam. Kalau ada orang, daritadi kami bisa diusir karena berisik banget. Abang yang melayani kami sesekali menoleh pada kami, mungkin dia pikir kami itu aneh. Duduk berdua makan bareng tapi giliran ngobrol lebih kayak adu bacot atau berantem gitu.

"Gue tuh serius!" decak Zozo dengan wajah kesal.

"Yah gue juga! Kan lu nanya, ya gue jawab!" balasku nggak kalah kesal.

"Terserah!" desis Zozo sambil kembali dengan makanannya tapi bibirnya mengerucut cemberut.

Aku mencibir sambil mencocol ikan dengan sambal dan menikmatinya dengan senang. Bisa dibilang, makan malam hari ini adalah yang paling enak dari sebelumnya karena aku tadinya belum bisa makan apa-apa.

"Btw..." aku mencoba memulai pembicaraan karena mengingat sesuatu sambil menoleh dan mendapati Zozo langsung berdecak pelan. "Soal laporin Tante Rika itu, gue cabut deh."

Zozo langsung menoleh dan menatapku dengan sorot mata kaget. "Pardon?"

"Cabut laporan," ulangku kemudian.

Mendengus kasar, Zozo menghabiskan sisa nasi uduk di piringnya dalam suapan besar seolah ingin menelanku. Ekspresinya bener-bener nggak suka.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Kenapa?" tanyanya balik sambil menolehku dengan tengil.

"Iya, kenapa?"

"Kenapa lu bilang? Hah?"

Benching ChadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang