Written by. Sheliu.
Aku duduk tepat di depan jendela kamar sambil melihat langit malam yang bertaburan bintang di atas sana.
Di lantai teratas ruko milik Zozo ini, selain jadi tempat buat jemur baju, bisa dijadiin tempat buat menggalau sendirian kalau lagi mumet. Cukup manjat ke jendela yang terhubung ke atap rumah yang kayaknya terbuat dari beton tapi bentuknya bukan menurun melainkan datar yang bisa duduk disitu tanpa perlu takut jatuh.
Menghela napas, aku mikir ulang dengan apa yang terjadi dalam hidupku beberapa bulan terakhir atau semenjak aku mutusin untuk keluar dari rumah. Kenapa aku bisa kayak gini? Kok bisa-bisanya mau kayak gini? Kenapa juga aku masih bertahan sampai saat ini disaat aku pikir aku nggak akan mampu? Dan kenapa lainnya yang penuhin isi kepalaku.
"Heh, lu nggak lagi mau bunuh diri, kan?"
Aku memejamkan mataku erat-erat sambil menahan umpatan saat mendengar celetukan Zozo dari arah jendela. Sambil berdecak, aku membuka mata dan menoleh padanya yang sedang merangkak naik untuk menyusulku kesini.
"Punya mulut tuh bisa dipake yang bener, gak?" desisku sebal.
"Bisa banget. Tergantung lu maunya yang kayak gimana? Buat lu teriak, kesel, enak, atau..."
"Kyaaaaa!!!! Nggak mau denger! Nggak mau denger!" seruku sambil menutup telinga dan Zozo tertawa terbahak-bahak melihatku.
Cowok itu aneh. Terkadang sok dewasa, kemudian sok galak, lalu bertingkah kayak anak kemaren sore. Suka nggak jelas dan banyak maunya. Rese banget.
"Bercanda!" ucapnya sambil membetulkan posisi duduk di sebelahku.
"Gue tuh nggak suka ya kalau omongan lu selalu jorok! Jangan kayak anak kampung!" omelku yang membuatnya berdecak sebal.
"Lu nggak bisa bedain yang namanya bercanda sama serius?" decaknya.
"Nggak bisa!" balasku judes.
"Pantesan aja ngomel mulu jadi cewek. Keriputan lu!" sahutnya.
"Mau ngapain kesini?" tanyaku ketus.
"Kenapa? Nggak boleh?" balasnya sinis.
"Nggak biasanya aja."
Aku tuh suka heran kalau ngobrol sama Zozo kenapa harus pake capek banget kayak gini. Yang nulis pun demikian, yang baca apa kabar?
"Gue udah manggil lu entah berapa kali tapi lu nggak nyahut. Gue pikir lu beneran mau mati, jadinya sebelum itu terjadi, mendingan gue samperin biar nggak nyusahin gue dan rumah gue dipasang garis kuning," ucap Zozo serius yang membuat aku menatapnya nggak percaya.
Aku masih bingung banget kenapa aku bisa-bisanya terjebak sama cowok modelan kayak gini? Kalau ngomong nggak ada saringan, suka semaunya, dan judes all the time. Aku nggak percaya yang katanya ada banyak cewek yang ngejer-ngejer dia.
Karena aku merasa nggak perlu membalas omongannya yang super ngaco itu, aku diem aja dan itu bikin dia mendesah kecewa.
"Kok nggak pake marah sih? Nggak asik," celetuknya.
See? Apa yang aku bilang soal Zozo yang kayak anak kecil? Aku pun nggak percaya kalau ternyata umurnya udah dua puluh delapan tahun, yang artinya beda enam tahun sama aku.
Aku masih diem aja sambil menatap langit malam dan mengabaikan Zozo. Aku juga nggak minat buat menoleh ke samping karena males ladenin Zozo yang mendadak ikutan diem di sebelah.
"Kalau lu tinggal sendirian disini, lu berani?" tanya Zozo yang membuatku spontan menoleh padanya.
"Maksudnya?" tanyaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Benching Chad
RomansIn Collaboration with @CH-Zone The peanut to my butter. Glaze on my donut. Cherry to my sundae. Milk to my cookie. Cheese to my macaroni. But... Never an option. Just on benching Chad. WARNING: MATURE CONTENT (21+) Ini adalah cerita kolaborasi dan a...