7. Kakak

2.6K 201 0
                                    

Kini Elissa berdiri di depan pintu kamar Aizeleen menunggu sahutan empu kamar setelah ia mengetuk pintu. Nihil, ia tak mendengar apapun dan pintu di depannya masih tertutup rapat. Mencoba peruntungan, Elissa memutar knop pintu. Ternyata Aizeleen tidak menguncinya.

Samar-samar harum lavender menyapa indra penciuman ketika Elissa masuk ke kamar Aizeleen. Bukan tipe yang membuat pusing tapi wangi lembut dan tidak menusuk. Elissa melihat sekeliling tak ditemukan sosok adik bungsunya. Suara gemericik air dari sebuah pintu yang diyakini adalah pintu kamar mandi terdengar, tanda jika si pemilik kamar berada di dalam.

Elissa mendudukan diri di atas kasur Aizeleen. Kamar adik bungsunya terlihat rapi, tidak banyak pernak-pernik terpasang. Perabot pun hanya terdapat meja rias, meja belajar dan sebuah lemari pakaian membuat kamar terlihat luas. Tamparan Kendrich tadi sangat keras tentunya akan meninggalkan memar maka dari itu Elissa membawakan baskom kecil berisi es batu serta sebuah handuk mini untuk mengompres pipi Aizeleen.

Tiga puluh menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda Aizeleen keluar. Elissa mengetuk pintu namun tidak ada jawaban. Akhirnya ia menerobos masuk ke dalam kamar mandi Aizeleen takut terjadi sesuatu pada adik bungsunya.

Di sana Elissa melihat Aizeleen duduk menelungkup kan kepala di bawah shower dengan pakaian yang masih melekat di tubuhnya. Aizeleen mendongak ketika air berhenti mengguyur tubuhnya. Tatapannya bertemu dengan mata tajam Elissa. Aizeleen terkejut tapi memilih menghiraukan, ia kembali menelungkup kan kepalanya pada kedua lengan dengan lutut sebagai tumpuan.

"Nyalakan lagi showernya, tolong."

"Kalau mau bunuh diri setidaknya lakukan dengan epik, bukan duduk di bawah guyuran shower sampai mati terkena hipotermia. Mau jadi setan kamar mandi 'huh?" sarkas Elissa.

Aizeleen berdecak. "Kalau kamu cuma ingin mengoceh seperti mereka maka pergilah. Aku sedang tidak ingin berdebat."

"Tidak asik jika membiarkan mu mati sendirian disini. Aku akan menemani mu seperti nya akan menyenangkan." Tangannya bergerak menyalakan shower hingga air kembali mengguyur Aizeleen.

"Kau gila? Kenapa suhunya dinaikkan?!" Aizeleen lekas berdiri menjauh dari guyuran air.

"Aku hanya membantu kamu supaya cepat mati," jawab Elissa tanpa dosa.

"Tapi tidak membuat kulit ku melepuh juga!" kesal Aizeleen. "Lagi pula kenapa kamu bisa di kamarku?"

"Sudahlah, sebaiknya cepat bersihkan tubuhmu selagi shower masih menyala." Sekilas Elissa melirik lengan Aizeleen kemudian berlalu keluar.

"Tentu saja masih menyala karena belum dimatikan." Aizeleen menggerutu tapi tak pelak dia mematuhi kakaknya.

"Kenapa kamu masih disini?" tanya Aizeleen mendapati Elissa duduk di kasurnya.

"Memangnya tidak boleh?"

"Tentu saja. Aku tidak mengizinkanmu menyentuk kasurku!"

"Aku hanya duduk, tidak menyentuh kasur mu."

Lagi-lagi Aizeleen berdecak kesal menghadapi kakaknya. "Kenapa sekarang kamu sangat menyebalkan? Duduk itu termasuk menyentuh kasurku dengan bokongmu."

"Oh ya? Baiklah." Dengan sengaja Elissa merebahkan diri di atas kasur empuk Aizeleen.

"Hei, kamu!"

"Apa?" tantang Elissa.

Aizeleen melengos. Memilih mengambil baju di dalam lemari lalu kembali masuk ke kamar mandi dengan menutup pintunya keras.

"Hobi sekali membanting pintu," gumam Elissa.

"Bangun! Sekarang aku sudah siap menghadapi mu."

Elissa bangkit dan kembali duduk. Ia menepuk-nepuk kasur di sebelah nya. "Duduk lah!"

"Kamu benar-benar mengajakku berdebat? Atau akan sok menasehatiku? Perlu kamu tahu aku tak butuh nasehat jika kamu hanya ingin memojokanku!" Aizeleen menyilangkan tangan di dada bergaya angkuh di depan Elissa.

"Dan perlu kamu tahu aku tak suka mengulang perkataan." Aizeleen benci tatapan Elissa yang bahkan lebih menusuk daripada Kendrich, membuat ia tak berkutik dan menuruti Elissa.

"Kamu menyebalkan," sungut Aizeleen berusaha duduk sejauh mungkin dari Elissa hingga ia duduk di ujung kasur yang hanya menampung sebelah pantatnya.

Elissa tertawa geli melihat kelakuan adik bungsunya. "Jangan tertawa! Katakan apa mau mu!"

Sejujurnya Aizeleen kagum melihat tawa Elissa karena kakak sulungnya itu terlihat sangat cantik ketika tertawa.

"Kenapa kamu seperti tak menyukai ku?" tanya Elissa penasaran.

"Karena kamu sudah menggangguku."

"Maksud kamu kegiatan percobaan bunuh diri tadi?"

Aizeleen mendelik. "Hey! Aku tidak mencoba bunuh diri!"

"Lalu apa maksudnya diam dibawah guyuran air dingin dengan lengan tersayat?

Refleks Aizeleen menyembunyikan lengannya. "Jangan sok tahu."

"Kalau begitu berikan tanganmu."

"Untuk apa?"

"Tentu saja untuk menambahkan sayatan baru. Kamu pasti akan menyukainya. Ngomong-ngomong mau pola bagaimana?"

"Tinggal di luar negeri sepertinya membuat kamu gila." Aizeleen bergidik ngeri.

"Setidaknya aku tidak segila itu untuk melukai diri sendiri."

"Kamu mencoba bilang aku sangat gila?" Suara Aizeleen naik satu oktaf.

"Tidak, tapi sedikit gangguan jiwa."

"Ya! Dan itu karena si brengsek Kendrich." Tangan Aizeleen mengepal, matanya kembali berkilat marah.

Elissa mengangguk tenang. "Sejak kapan?" Melihat Aizeleen bingung Elissa menambahkan, "Sejak kapan dia bermain tangan?"

"Dari awal tua bangka itu sudah acuh tak acuh padaku, tapi sejak para jalang itu datang dia menjadi lebih keterlaluan seperti tadi."

"Lalu Elrick dan Asher?"

"Huh! Mereka hanya diam dan Elrick si triplek, dia akan selalu lebih membela si jalang."

"Berhenti mengumpati mereka, itu hanya akan membuat mulutmu kotor." Elissa mengambil baskom yang tadi ia letakkan. "Tujuanku sebenarnya hanya ingin membawakan ini, ah, walaupun esnya sudah mencair tapi airnya masih dingin."

Aizeleen menatap baskom berisi es yang sudah mencair tak lupa dengan handuk kecilnya. "Ini untuk apa?"

Elissa mendengus. "Tentu saja untuk mengompres pipi birumu. Jangan bilang kamu tak pernah melakukannya?" Matanya memicing kala tak mendapat jawaban. "Benar-benar tidak pernah?"

"Aku mana peduli dengan luka tamparan ini, bahkan sakitnya tidak terasa."

Elissa menghela nafas pasrah. Ia pun mencelupkan handuk ke dalam air es lalu memerasnya kemudian diserahkan kepada Aizeleen. "Tekan-tekan handuk ini di bagian pipi yang memar."

"Tidak perlu."

"Mau melakukan sendiri atau harus ku bantu?" Aizeleen menatap Elissa kesal, ia tahu Elissa mencoba menggertaknya. Dengan sangat terpaksa Aizeleen mengambil handuk kecil itu. Ia meringis ketika dengan sengaja menekan pipinya agak kencang. "Sudah kan? Sekarang kamu bisa segera keluar dari kamar ku."

"Tentu, ngomong-ngomong hanya memperingatkan jika aku adalah saudara sulungmu. Kamu tentunya tahu harus memanggilku apa." Elissa menepuk-nepuk pelan kepala adik bungsunya.

Aizeleen termenung bahkan tak sadar jika Elissa sudah tak ada di kamarnya. Tatapannya kosong ketika ia menatap pintu kamar yang baru ditutup Elissa.

"Apa kamu bisa dipercaya, Kak?"

***

Oh My Little Antagonist Sister!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang