7. Antara Bunda dan Ego

36 2 2
                                    

"Pilihan terberat bagi seorang yang berbakti kepada orang tua adalah ketika mereka memiliki pendapat sendiri, sedangkan hati menolaknya. Namun, diri ini takut akan laknat-Nya. Hanya karena lebih mementingkan istrinya saja, Ruh al-Qomah kesusahan keluar dari jasad, sebab batin ibu yang nelangsa."

***


"Kemarin dari mana, Nak. Pulangnya kok agak malam?"

Usai pulang dari kuliah, Arya berbincang dengan bunda tercinta, Bu Salmah namanya. Sosok ibu yang dipatuhi oleh Arya. Karena ia tahu surga di telapak kaki seorang ibu, yaitu pada keridloan seorang ibu. Itulah yang didapat selama ia nyantri di salah satu pesantren tersohor di kota Tuban, pesantren Langitan.

Ia tahu kalau perjodohan bukanlah suatu hal yang buruk. Karena tradisi pesantren juga demikian. Ia juga tahu kalau Vidya bukanlah wanita buruk, bahkan sangat sholihah sebagai wanita dan calon istri. Karena memang ia wanita yang terdidik agamanya sejak kecil. Ia juga alumni pesantren Lirboyo kota Kediri. Bahkan, ia juga tahu kalau perjodohan dengan niat mempererat persaudaraan itu juga baik, karena pernikahannya bukan berdasar nafsu.

Namun sayangnya, hati Arya telah buta dengan Kamelia. Hati Arya lebih dulu mengenal Kamelia. Cinta pertama, sulit memang. Sempat terfikir, kenapa perjodohan itu tidak lebih dulu daripada ia mengenal sosok Kamelia? Sekarang sudah terlanjur, hatinya telah tersangkut oleh pesona bunga Kamelia.

Baginya, Kamelia bagaikan tiga kelopak bunga yang menjadi satu. Pesona kelopak putih yang membuat dirinya kagum akan bakatnya. Pesona kelopak pink yang membuat dirinya rindu akan perjumpaan dengannya. Dan pesona kelopak merah yang membuat dirinya ingin segera meminangnya.

"Dari nganter teman perempuan Bun. Kasian mobilnya bocor di jalan. Dia tergesa-gesa mau ada rapat. Tapi, ada Avira kok kemarin."

"Kamelia?"

"Kok tahu?" Arya terlihat kaget.

"Siapa yang nggak kenal artis, Nak." Bunda tersenyum. Senyum teduh Bunda benar-benar membuat Arya adem.

"Kalau sudah lulus, segera lamar Vidya ya Nak!"
Arya tertegun. Ucapan bunda benar-benar membuatnya berhenti melontarkan senyum. Arya terdiam melamun.

"Kenapa?"

"Oh, nggak Bun. Aku minta waktunya dulu buat istikharah ya Bun!" Arya gelagapan menjawab.

"Istikharah? Bukannya udah kesepakatan ya, jadinya nggak perlu istikharah soalnya udah positif?"

Arya bingung. Yang dikatakan bunda Salma memang benar. Tidak mungkin dia mengatakan kalau hendak membatalkan perjodohan dan hendak meminang Kamelia. Bahkan, dia saja tidak tahu apakah Kamelia menyukainya atau tidak. Ia dilema antara pilihan bunda tercinta dengan egonya. Ia harus memikirkan matang-matang karena pernikahan bukanlah ajang permainan. Sebuah ritual sakral yang disaksikan oleh Allah di Arasy, singgasana Tuhan Semesta Alam.

"Arya harus tetap diskusi dengan Allah Bun, meminta ridlo-Nya. Sesuatu yang terlihat baik di depan mata, belum tentu baik di depan Allah. Jadi, Arya harus meminta petunjuk dulu." Arya tersenyum. Untungnya dia adalah santri. Jadi, tidak kehabisan akal untuk ber dalil.

"Masyaallah. Begini ya akhlaknya seorang santri. Bunda jadi bangga. Bunda sempat menyesal kenapa dulu Bunda nggak mondok."

"Nggak apa-apa Bunda. Arya siap menegur kok, kalau Bunda salah."
"Iya Nak. Jangan sungkan-sungkan ya!"

Arya tersenyum bangga memiliki ibu sebaik Bunda Salma. Sebaik ini, dia jadi tidak tega untuk tak memenuhi permintaannya. Tapi, rasa cinta kepada Kamelia sudah merenggut hatinya.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam warahmatullah."

Arya membuka pintu. Tampaklah dua perempuan yang tak asing lagi baginya karena perjumpaan di markas tempat Kamelia berkarir. Dua perempuan tersebut berseragam, sehingga membuatnya terasa aneh.

"Silahkan masuk!"

"Terima kasih." Kedua perempuan itu duduk sedangkan Arya memanggil bunda.

"Bunda, ada tamu. Tolong bantu nemuin dong."

"Siapa Nak?"

"Kru musik religinya Kamelia."

"Ngapain ke sini?"

"Nggak tau."

Bunda Salma menyuguhkan tamu seadanya. Tanpa basa-basi, beliau menanyakan maksud kedatangan mereka.

"Perkenalkan saya Fifi selaku staff musik religi yang divokali oleh Kamelia. Saya hanya menyampaikan dari pak produser bahwa anda diundang oleh beliau dalam proyek album terbaru kami untuk duet dengan Kamelia. Lagu yang dibawa adalah Bidadari Surga."

Arya kaget bukan main. Begitu juga Bunda Salma. Tak habis pikir, kenapa dia? Sesuatu yang sangat mengejutkan.

"Kenapa kok saya? Kan ada artis religi lain yang lebih berbakat. Aku artis aja nggak?" tanya Arya heran.

"Nggak tau Kak. Ini perintah dari Pak Arman. Katanya anda punya bakat suara," jelas Fifi.

"Pak Arman kok tahu?" Arya keheranan.

Meskipun suaranya tak sebagus Syakir Daulay dan artis-artis lain, setidaknya ia adalah vokal utama dalam grup banjari di pesantren dulu. Pernah juga grup tersebut menjuarai sampai tingkat nasional. Bahkan, dia juga pernah menjuarai qiro'ah tingkat nasional.

"Produser kami memang jeli, Kak. Beliau bisa menilai hanya dengan mendengar suaranya saja."

Arya teringat sekilas kemarin ia sempat berbincang dengan pak Arman. Ia tak menyadari itu. Tak pernah terbayangkan kalau dirinya akan mendapat proyek ini. Apalagi berduet dengan Kamelia, pujaan hatinya. Hatinya sungguh senang. Namun, akal berkata harus mempertimbangkan.

"Gini, aku diskusi dulu dengan keluarga. Nanti, kalau bersedia aku kabarin."

"Ok, sebelumnya kami ucapkan terima kasih, apakah boleh minta nomor WhatsApp?"

"Oh, iya. Silahkan dicatat!"

Usai bertukar nomor, kedua perempuan tersebut undur diri. Jantung Arya masih berdegup kencang karena tawaran tersebut. Apakah ini petunjuk istikharah nya? Apakah Kamelia benar-benar patahan tulang rusuknya? Arya masih bertanya-tanya mengenai itu. Malamnya, segera ia diskusikan dengan kedua orang tua dan adiknya.

Derita Asmara Tiga Hati (DATH) TERBIT✓ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang