"Dazai." Satu kata- namun mampu mengintruksiku untuk mencari asal sumber suara. Aku yang tengah meringkuk sembari mencoret-coret buku diatas meja bangku ku, menyahut dengan respon tolehan kepala.Sambil menatapku heran bercampur jijik, dia bertanya kepadaku.
"Sendirian mulu. Nggak mungkin, 'kan orang kayak kamu ngga punya satupun teman?"
Dengan senyuman yang tertarik tanpa ku sengaja, aku mencoba untuk tidak emosi dengan kata-kata yang lumayan menyebalkan sekaligus menyakitkan dari kalimat yang dilontarkan nya.
"Aku?" Aku terkekeh pelan. "Kayaknya kamu peduli denganku? Apa kamu mau jadi temanku?" Aku bertanya sembari menangkup pipi sebelah kiri ku.
Dia diam menatap memicing padaku. Seolah-olah aku adalah hal yang paling memuakkan di matanya saat ini.
"Ngga juga, sih." Dan tanpa adanya jawaban yang lebih pasti darinya, ia beranjak pergi dari bangkuku begitu saja.
Aku menghela nafas berat. "apaan, dah?" Lalu bersandar di kursi dan menerawang menatap ke langit-langit kelas.
Kalian mengerti maksud dari perkataan orang itu di awal kalimat nya? Hmm hmmm~! Ya, asal kalian tahu, disini aku hampir memegang penuh semua jabatan di sekolah ini. Bahkan, siapa, sih yang tak ingin berteman denganku karena hal itu?
Tapi itu dulu-Setelah aku mendapatkan masalah yang kian menumpuk —dan itu berlangsung tiba-tiba— Aku pun secara sukses segera menurunkan jabatan, gelar, dan menjatuhkan prestasi ku sendiri. Dan itu hanya butuh seminggu. Ya, berturut-turut dan itu baru terjadi hampir 3 bulan yang lalu. Aku pun frustasi hampir depresi saat itu juga.
"Zai, udah piketin halamannya, belum?"
Mendengar hal itu membuat kedua alisku bertaut, mengernyit bingung dengan kalimat salah satu teman sekelas ku.
"Piket halaman? Tapi, 'kan aku bukannya piket teras, ya?"
"Dih, ya harus inisatif, dong! Yang piket hari ini ngga datang. Jadi kau aja yang gantikan."
"Oh..."
Sebenarnya aku ingin sekali menegaskan diri dan membentak anak itu sekarang juga. Bukankah dia bisa melakukannya sendiri karena sudah peka duluan? Jadi kenapa masih memerintahku? Namun karena kedudukanku saat ini, mana mungkin ku lakukan itu. Karena pasti akan memancing banyak kontak mata, dan aku akan kesulitan menyelamatkan diri.
"Haishh... Oke, sekarang aku yang kerjain, nih?"
"Wuu jelas!"
Tapi sebenarnya bukan karena perasaan ku yang karena takut itu yang membuatku tak ingin berdebat dan beradu kekerasan. Tetapi itu demi kakak lelaki angkatku yang sudah meninggal sebulan yang lalu setelah masalah terakhir ku yang terbeberkan.
Dia pernah mengatakan ini kepadaku -
"Osamu, ingat kata-kata ku." Nada bicaranya saat itu terasa sangat serius. Saat kala itu malam yang dingin menemani kami berdua di ruang makan yang sunyi.
"Coba suatu hari kau lakukan ini. Kau bandingkan perbuatan buruk dengan perbuatan baik yang akan kau lakukan saat kau dibebani suatu masalah. Cobalah, setelah itu beritahu aku. Mana yang lebih nyaman kau pakai?" Itulah kata-kata nya saat aku pertama kali menjabat sebagai Ketua Osis di SMP dulu. Ia tersenyum dan hampir tak peduli dengan jabatan yang ku banggakan.
"Aku tak mau bangga denganmu, sampai kau berhenti menjabat gelar itu dengan sikap terbaik dan tidak sombongmu. Lalu aku akan mengakuimu setelahnya." Begitulah kebesaran hatinya sambil mengacak-acak rambut ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️]『 To My Youth 』|| Bungou Stray Dogs
Fanfiction►ᴛᴏ ᴍʏ ʏᴏᴜᴛʜ-ʙᴏʟʙʙᴀʟɢᴀɴ4*ೃ༄ Kisah tentang kehidupan remaja Dazai Osamu. Dimana kehidupan tidak seindah Sweet Seventeen anak-anak pada masanya. -------------------------------------------→ Mungkin ini akan menjadi cerita yang jarang di dapat...