Di Masjid

81 0 0
                                    

Pantai Carita (Pandeglang), Juli 2021

"Kita pacaran yu, saya janji saya ngga akan marah-marah"

"Pacaran si bang, tapi emang bisa pacaran ngga marah-marah?"

"Ini serius. saya janji Saya ngga akan marah-marah"

"Terus gimana cara buktiinnya?"

"Saya akan meyakinkanmu"

Dalam wajah sisa-sisa keringat bersama senja, Dasrial yang duduk di atas jok motor itu berada tepat di hadapan Deswita yang tengah duduk di teras masjid. Matanya begitu dalam memandang seperti isyarat penuh harap. "Saya jalan duluan" ucapnya tanpa ragu, Dasrial pergi dengan mata yang terus menatap dalam.

"Tunggu!! Dengan cara apa?"

Sebentar lagi senja datang, jaraknya sudah hampir sejengkal. Deswita tau apa yang dikatakan lelaki itu serius, tapi Deswita bukanlah anak kecil, meski di awal dirinya mengatakan iya. Dirinya tak bisa begitu langsung percaya. Rasanya mustahil dalam sebuah hubungan tanpa ada pertengkaran, terlebih lelaki itu menjanjikan satu hal yang tidak mungkin lepas dari kodratnya.

Lelaki itu tersenyum lalu mendekat
dan berkata "Akan saya usahakan"

"Memangnya bisa?"

"Ya ngga tau, baru juga dimulai, semoga saja."

Di kejauhan, matahari yang perkasa cahanya kian lenyap berpindah tempat; tinggal bersama permukaan air laut yang luas, cahaya orennya memanjang, dan riak-riak kapal kecil mulai ramai bersuara, sebagai pertanda perjalanan nelayan dimulai.

Dengan berlatarkan senja, lampu-lampu hotel di pinggir pantai mulai menyala. Pantai Carita kala itu terlihat begitu indah.

Hingga berkumandang suara adzan maghrib

Bersama lafal do'a imam di toa masjid, Deswita tau lelaki itu mencatat namanya "Abang serius soal tadi siang?"

"Saya serius kalau soal kamu"

"Ya udah, semoga abang ngga main-main"

"Maksudnya?"

"Ya udah, kalau memang abang beneran serius, aku mau ko jadi pacar abang"

"Saya pikir kita sudah jadian tadi siang, di depan masjid.!"

Malam mulai menyambut bintangnya. Lelaki itu mulai mencari kayu bakar untuk membuat bara dan memanggang daging yang telah ia bawa sebelumnya dari rumah. keduanya bekerjasama sibuk mengebaskan buku di atas kayu yang mulai terbakar, bersama daging panggang keduanya larut dalam perasaan yang baru saja mereka tanam, sesekali mata mereka saling menetap, pandang memandang dan senyum tipis tak bisa disembunyikan. tak terasa sang waktu mulai menarik pertemuan keduanya, malam yang kian menua menghasilkan keputusan bahwa keduanya harus segera pulang.

Kala itu Deswita putuskan untuk pulang bersama lalaki yang baru saja ia pilih. Ia menjawab satu demi satu pertanyaan yang terus lelaki itu lontarkan di sepanjang perjalanan menuju Kota Serang.

"Seribu permen belum tentu cukup mengalahkan manisnya senyummu." Dasrial menutup percakapan di atas motornya.

"Gombal"

Dengan penuh senyum sembringah, Deswita mengeratkan tangannya memeluk lelaki itu. Malam itu milikmereka.

Tamu-Tamu LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang