Tidak akan ada masa depan jika tidak ada masa lalu, maka biarkan masa lalu dan masa depan tidak ada biar kita selalu hidup di masa sekarang.
_____________________________________________________🌵
Alana berjalan memasuki halaman rumahnya, bisa ia lihat bahwa Clara sudah pulang terlihat dari mobilnya yang terparkir di halaman.
"Huft." Alana menghela napas berat. Alana terus melanjutkan langkahnya untuk menggapai gagang pintu.
CKLEKK.
Clara yang tengah sibuk dengan laptopnya menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka, dilihatnya Alana yang baru saja pulang dengan wajah lemas, sedikit membuatnya khawatir namun segera di tepisnya. Gadis itu buru-buru berjalan melewati Clara tanpa menoleh.
"Kirain gak bakal PULANG!" sinis Clara dengan menekankan kata pulang.
Alana mematung di tempat, ini kata pertama yang keluar dari mulut Clara setelah beberapa bulan terakhir ia membisu.
Alana menatap Clara datar. "Ngomong sama saya?" ucap Alana menunjuk dirinya sendiri sembari melihat sekitar memastikan tidak ada orang lain selain dia dan Clara di sini. Tentu saja Alana hanya menyindir.
Clara hanya diam tidak mempedulikan ucapan Alana matanya tidak beralih dari laptop miliknya.
"Pulang? ini bukan pulang si namanya, mungkin nanti kalo mati baru saya sebut pulang." ucap Alana datar tanpa merubah ekspresinya, Alana segera berlalu pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua.
Sesampainya di kamar Alana duduk di tempat tidurnya. Alana terdiam, rasa lemas, pusing yang ia rasakan seketika menghilang setelah kejadian di bawah tadi. Mata nya kini berkaca-kaca, ia mengingat momen menyenangkan bersama Clara dulu. Alana mengenang bagaimana dulu Clara sangat peduli padanya jika ia sakit Clara akan memeluknya dan merawatnya dengan baik.
"M-mama." ucap Alana begetar, Alana menangis.
Pertahanannya kini runtuh, ia membutuhkan sosok Clara saat ini. Alana membekap mulutnya untuk menahan isak tangis agar tidak terdengar.
Alana sudah lama tidak menangis, apa lagi menangisi masalah ini. Menurutnya sudah tidak ada guna. Ia bukan merasa senang, hanya saja Alana hanya merasa terbiasa dengan situasi seperti ini. Mungkin karena hari ini Alana sedang tidak enak badan pikirnya, makanya Alana terasa lemah dan lebih sensitif.
Alana menangis sejadi jadinya ia merasa lelah dengan kesendiriannya, rasanya Alana ingin berlari ke bawah untuk meminta Clara memeluknya walau hanya sebentar. Namun itu tidaklah mungkin, ia sudah tidak punya tempat di hidup wanita itu.
Ia terus menangis dan kembali mengingat momen hangat bersama Clara.
*FLASHBACK ON
"Mamaaaa." gadis kecil yang di baluti seragam putih merah itu berlari ke arah mamanya yang menunggu di depan gerbang sekolah dengan senyum gembira.
"Hati-hati sayang nanti jatuh."
"Mama hari ini Lana dapet nilai bagus loh." ceritanya bersemangat dengan kertas bertulisan angka seratus yang berada di tangannya.
"Wah pinter banget anak mama." di usapnya lembut kepala gadis kecilnya ini.
"Nanti Lana mau tunjukkin ke papa juga kalo papa udah pulang." senyumnya tidak pudar bahkan lebih lebar dari sebelumnya.
"Boleh dong papa pasti bangga banget." ucap mamanya.
*FLASHBACK OF
Sekilas momen hangat itu membuat dada Alana semakin sesak, 'Lana' nama kecil miliknya yang sudah lama tidak ia dengar ada yang memanggilnya seperti itu.
Alana terus menangis semalaman sampai akhirnya tertidur pulas dan terbangun di pagi hari dengan keadaan yang sangat berantakan.
🌵
"Woi den!" Aksa menepuk bahu Aiden mereka sedang berada di parkiran sekolah, Aksa dan Aiden datang selisih berapa detik karena tak lama Aiden sampai Aksa juga sampai.
"Oi sa tumben gak telat." ledek Aiden, pasalnya Aksa langganan telat.
"Hehe gue belom tugas matematika, mau nyontek." ucap Aksa tanpa dosa.
Aiden memutar bola mata malas, harusnya ia sudah bisa menebaknya. Sebenarnya Aiden dan Aksa sudah berteman semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama namun baru akrab semenjak awal kelas sepuluh, dan mereka juga mengenal Vano saat itu.
Aiden, Aksa dan Vano hanyalah murid biasa, bukanlah murid yang suka buat onar tapi bukan juga murid yang sangat taat. Mereka juga bukanlah murid yang sangat pintar namun mereka juga tidak bodoh, mereka menguasai mata pelajaran masing-masing. Seperti sekarang Aksa ingin menyontek tugas matematika karena Aiden ahli dalam menghitung, begitupun sebaliknya jika bagian mata pelajaran yang dikuasai Aksa, Aiden juga akan mencontek dan itu juga berlaku di Vano.
Aksa dan Aiden berjalan menyusuri koridor yang sudah mulai ramai karena kelas mereka yang berada di lantai dua mereka harus berjalan agak jauh dari tempat parkir. Aiden melirik salah satu kelas yang ia lewati tertulis XI IPS 2. Aiden menoleh hanya sebentar lalu kembali fokus ke jalan.
Aksa dan Aiden sampai di kelas, seperti rencana awal Aksa segera meminta buku Aiden untuk menyalin tugas milik Aiden.
"Selamat pagi braderrrrrrr!!!" itu suara Vano yang baru datang dengan heboh.
"Wah wah tumben Aksa dateng duluan dari pada gue." lagi lagi Vano yang bicara, Vano terlihat sangat ceria hari ini.
"Berisik anjir Van!" ucap Aksa.
"Seneng banget keliatannya, menang togel ya?" kini Aiden yang bersuara.
"ENAK AJA! GINI GINI GUE GA MAKAN HARAM YA!"
Aiden terkekeh. "Gak ada yang tau van."
"Nyenyenye."
"Eh bentar, Aksa nyalin tugas apa?"
"Matematika."
"Hari ini hari apa?" Vano melongo bingung
"Selasa."
"LOH gue salah bawa buku." Vano panik, pasalnya guru matematika mereka sangat kiler.
"Lo bawa apa?" Aksa bertanya.
"Gue bawa buku rabu njir!"
"Bego!" ucap Aksa dan Aiden bareng.
"Tai."
🌵
Jangan lupa vote dan komen, pada sider gak asik:(
KAMU SEDANG MEMBACA
NAUFRAGA
Teen FictionAlana Elmira Williams, seorang gadis yang sangat jarang berbicara, mempunyai sorot mata yang selalu menatap dengan tajam dan penuh kebencian. Alana tidak segan-segan menyakiti siapa saja yang berani mengganggunya. Hal itu membuat orang orang tidak...