[16] Rencana Berikutnya

7 1 0
                                    

Jika menuruti kehendaknya, maka yang ingin Hira lakukan bila bertemu Sheila adalah langsung memberitahu cewek tersebut semua yang ia dengar barusan. Sayangnya, semua orang tahu aturan tak tertulis ini ; semakin kau menginginkannya, semakin susah hal itu terwujud. 

Kala ia kembali ke kelas, jam kosong telah berakhir, digantikan pelajaran PKN yang sukses meninabobokan siapa pun yang mendengarkan ceramah Pak Sugeng barang 5 menit. Anehnya, Sheila lumayan serius menyimak, sehingga sama sekali tidak membaca chat yang dikirim Hira. Di jam istirahat pun, Cecil dan Gaby seolah sengaja menghalanginya mendekati Sheila, dengan mengajak gadis itu berlama-lama pergi ke kamar mandi perempuan. 

Kesempatannya hanyalah ketika bel pulang telah berbunyi nyaring lewat speaker. Maka dari itu, Hira sudah bangkit dari kursinya guna menghampiri Sheila. Ia baru mau mengambil perhatian Sheila dengan menyebut namanya,

"Sheila." 

Sheila mendongak, namun bukan ke arah Hira. Tak disangka-sangka, dia kalah cepat dibanding Rere, yang menghampiri Sheila sambil menyeret paksa Asri. 

"Anu... jadi, Asri bilang, dia mau ketemu kamu—"

"Enak aja!" Asri menyergah duluan. "Bukan aku yang mau sukarela ketemu sama dia, ya!"

Rere menghela napas letih. "Oke, revisi. Memang bukan dia, aku yang membujuknya. Berkat bujukanku, Asri sudi mendengarkan kata-katamu sebentar."

Iris mata Sheila berbinar. "Sekarang juga?"

"Enggak." Kali ini Asri berkata ketus. "Aku ada rapat OSIS setelah ini. "

"...Jadi, mungkin kita bisa bikin schedule buat ketemu?" Rere melanjutkan dengan nada lebih ramah. Lalu, ia membungkuk guna berbisik ke telinga Sheila. "Dan kuharap kamu  pakai waktunya buat menyajikan alasan yang ampuh meyakinkan Asri."

Senyum di bibir Sheila tak berubah. "Okay, no problem," katanya riang. "Kapanpun kalian senggang, hubungi aku. Aku free kapan aja, kok."

Asri mendengus. Ia menoleh ke arah Rere. "Nah, kamu puas?" tanyanya. "Sekarang, ayo cepat ke ruang OSIS. Rapatnya dimulai sebentar lagi."

Ia berjalan lebih dulu ke luar kelas seraya mengibaskan rambut, diikuti Rere yang tertatih menyamai langkahnya. Ia bahkan tidak mengerling sedikit pun ke Hira, yang selama ini terdiam menyimak obrolan mereka. 

"Hei," giliran Hira menyapa Sheila. "Aku perlu ngomong sesuatu yang penting."

Sheila celingak-celinguk ke kanan dan kiri, sebelum menunjuk dirinya sendiri. "Kamu ngomong sama aku?"

"Memang ada siapa lagi di sini?" Hira mengernyitkan kening.

"Makanya, sebut namaku, dong. Aku punya nama, tahu? Namaku bukan 'hei'."

"Oke, Sheila, tadi saat ke toilet, aku dengar—"

"Shei."

"Tony dan yang lain mengobrolkan soal—"

"Shei." Sheila kembali memotong ucapan Hira. Ia menatap lelaki tersebut lurus-lurus, kontan membuat yang ditatap merasa rikuh. 

"Apa, sih?" Hira berdecak kesal.

"Panggil aku Shei. I've told you before, right? But you never use it. Semua yang kukenal memanggilku begitu."

Hira mengacak-acak rambut setengah frustasi. "Memang yang seperti itu penting? Daripada itu—"

"S-H-E-I."

"Sheila, aku serius. Namamu yang biasa udah cukup, kan? Lagipula, aku nggak biasa memanggil cewek dengan panggilan akrab."

Elephant In The ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang