[12] Kawan dan Lawan

12 2 0
                                    

Cecil memandangi pintu kamarnya yang tertutup rapat. Sudah berlalu beberapa lama sejak Hira beranjak pulang ke rumahnya sendiri. Kini ia ditemani oleh Sheila serta Gaby, yang memperlakukan kamarnya bak kamar mereka. Toh, Cecil tidak keberatan.

Ia menoleh ke arah Sheila yang merebahkan diri di atas dipan. "Kamu serius ingin bekerja sama dengan dia?" tanyanya, meski ia tahu itu percuma. Ia takkan bisa mengubah pemikiran sahabatnya. Sesuai perkiraan, Sheila mengangguk ringan.

"Tetap saja, aku merasa kita nggak terlalu butuh dia," Cecil mengerucutkan bibir.

Gaby tertawa. "Oh, ayolah, Ce. Aku ngerti kamu nggak percaya sama cowok, tapi kita memang perlu anggota cowok. Kebanyakan anggota kita cewek semua, akan susah jika berhadapan dengan sesuatu yang membutuhkan fisik."

Sheila bangkit mendadak dari kasur, surainya terurai menutupi kening. "Betul. Yah, aku paham kamu masih curiga. Jadi, kebetulan, akan kubiarkan kamu mencari tahu informasi tentangnya."

"Eh?"

Dua pasang mata terpaku memandang Sheila.

"Serius?" mata Cecil membulat.

"Why not? Sejujurnya, aku kepikiran sesuatu. Mengapa Hira bisa sampai dipindahkan ke sekolah ini? Maksudku, ada banyak sekolah lain yang lebih bagus. Mengapa harus SMA ini, bila dia kelihatan tidak begitu suka?"

Gaby menyandarkan diri ke dinding. "Kita harus mulai cari tahu dari mana...?"

Sheila menjentikkan jari. "Yang paling mudah tentu saja menggali informasi dari orangnya sendiri. Kemudian, kita pakai informasi dasar itu untuk mencari sesuatu yang lebih dalam." Gadis itu mengutak-atik ponselnya, bunyi ketikan bergaung nyaring. Sesaat setelahnya, ia menyeringai penuh kemenangan.

"See? Besok aku bakal ketemu dengannya."

***

Begitu Hira menjejakkan kaki ke lantai kafe, lonceng di atas pintu berdenting mengumumkan kehadirannya. Akan tetapi, tampaknya tak ada seorang pun yang cukup peduli untuk menyambut kehadirannya. Melempar lirikan saja tidak. Hira mengedarkan pandang ke seluruh meja dan orang-orang di kafe. Pelayan berlalu-lalang membawa nampan atau buku menu. Di antara sekian kepala yang menempati bangku, ia akhirnya menemukan surai ungu yang mencolok di keramaian.

Sheila duduk di meja paling belakang, terlindung rimbun dedaunan pohon hias. Ia menghampiri Sheila, yang melambaikan tangan singkat saat melihat Hira. "Mau pesan?" tanya Sheila, sembari mendorong buku menu ke hadapan Hira.

Hira membuka halaman buku menu dalam diam, sementara Sheila bercakap-cakap dengan salah seorang waiter di samping mereka.

Seusai keduanya menyampaikan pesanan masing-masing, Hira berdeham. "Jadi... kita mau ngobrol soal apa? Rencana apa?"

Sheila menelengkan kepala. "Untuk mengungkap siapa pelakunya, of course. Tapi pertama-tama, kamu tidak penasaran siapa saja anggota kelompok kita?"

Hira menggaruk bagian belakang kepalanya. Sebelum ini, perkara tersebut luput dari pikiran. Barulah setelah Sheila mengungkit hal itu, rasa penasarannya terbit. Ia kira, tak ada salahnya mengetahui siapa kawan dan lawan. "Ah, ya... sedikit," ia mengaku.

"Nah, makanya, agenda kita hari ini adalah mengenalkanmu pada teman-teman kita," Sheila mengumumkan seraya menepuk kedua tangan.

"Kamu mau mengundang banyak orang ke mari?" tanya Hira skeptis.

Sheila otomatis menggeleng. "Sayangnya tidak ada yang punya waktu luang. Tapi!" Mendadak ia merogoh ke dalam tas yang tersampir di sampingnya, lalu mengeluarkan dua buah map. Yang satu berwarna biru, sedang yang lain merah muda. Dari keduanya menyembul tumpukan kertas putih.

Elephant In The ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang