[2] Yang Pantang Diucap

8 2 0
                                    

Bel istirahat sudah berdering nyaring beberapa menit lalu, namun suaranya masih terngiang di telinga Hira sementara ia menyusuri kerumunan para murid ke kantin. Ia melangkah bimbang tanpa arah pasti, sembarang mengikuti murid di depannya. Semoga saja ia benar-benar mencapai kantin, bukannya tersesat entah di mana. Wahai murid tak dikenal, kupercayakan nasibku padamu, Hira bermonolog dramatis.

Selama ini ia memilih tetap berdiam di kelas walau bel istirahat berbunyi. Tempat yang ia kenali di sekolah hanyalah sebatas gerbang, kelas dan ruang guru. Ah, kamar mandi juga. Alasannya ada tiga. Pertama, ia tidak punya teman yang bisa menunjukkan padanya berbagai tempat. Kedua, berjalan membelah lautan manusia tak dikenal yang bising terasa memuakkan. Ketiga, sederhananya, ia memang sudah tidak menyukai sekolah ini sejak awal.

Akan tetapi, setelah pelajaran Matematika tadi, mendadak kelas jadi terasa lebih pengap dari sebelumnya. Hira ingin setidaknya menghirup udara bebas dan mengistirahatkan bahunya yang kaku. Bisa-bisa ia mengalami trauma jika terus mengingat kejadian tadi.

Untunglah murid yang ia ikuti memang bermaksud pergi ke kantin. Setelah dia bergabung dengan teman-temannya, Hira menyusup masuk di antara banyaknya orang. Padahal sepuluh menit yang lalu ia begitu menanti jam istirahat, namun sekarang ia baru sadar bahwa ia tidak merasa lapar, entah kenapa. Sudah terlanjur basah, daripada pulang dengan tangan kosong, maka ia memutuskan mengambil sebungkus roti isi dan sekarton susu.

Dengan plastik roti di tangan kiri dan susu di tangan kanan, Hira mengedarkan pandangan ke seantero kantin. Meja-meja di dekat kipas angin kebanyakan sudah penuh, menyisakan meja-meja kotor bekas kuah bakso yang belum dilap. Jenis pemandangan yang membuat Hira sudah menyerah duluan.

Apa aku makan di kelas aja, ya?

"Hei, sini!"

Sebuah suara menyentak Hira tatkala ia hampir balik kanan. Ia refleks mengangkat kepala, memerhatikan tiap murid di sana. Matanya menangkap sesosok laki-laki yang melambaikan tangan tinggi-tinggi ke arah Hira. Hira memicingkan mata. Bukan cowok sombong sok pintar di kelasnya. Lalu, siapa...? Rasanya ia tidak kenal siapa-siapa di sini.

Hira ragu-ragu menghampiri. "Aku..?" ia susah payah menunjuk diri sendiri dengan tangan kanan yang penuh.

Cowok tersebut mengangguk, kemudian menunjuk bangku kosong di depan menggunakan dagu. Hira mematuhi isyaratnya. Ia mendaratkan pantatnya di bangku, sementara tangannya memindahkan barang-barang ke atas meja.

"Hira, kan? Yang diamuk Pak Banu di kelas?"

Duh, jangan diingat-ingat dong. Hira menggerutu dalam hati sembari mengangguk setengah hati. Kalau cowok ini bisa tahu, berarti ia merupakan teman sekelas Hira. Masalahnya, yang mana...?

"Eng.. Siapa, ya?"

Hira melontarkan pertanyaan dengan ringan, sehingga ia tidak menyadari efek yang ditimbulkan pada raut wajah teman barunya akan begitu besar. Nyatanya, mata lawan bicaranya kini membelalak lebar, diikuti mulut yang menganga. Alisnya berkerut ke atas, sampai-sampai Hira khawatir alis tersebut tidak bisa kembali.

"Hah? Serius nggak tahu?" sekarang, bahkan ia memajukan bagian atas tubuhnya. Hira spontan menjauhkan tubuhnya dari meja. "Aku maklum sih kamu anak baru, tapi kan sudah dua minggu! Masa nggak ingat satu pun, sih?" cemberut menghiasi bibir laki-laki tersebut.

Kan sejak awal aku juga tidak berniat buat ingat.

"Y-Ya, maaf.." Hira jadi terhanyut pembicaraan, meski sebenarnya ia tidak paham untuk apa ia meminta maaf. "Jadi, namamu siapa?"

Siswa itu menghembuskan napas, seakan menyerah akan sikap Hira. "Indra. Tempat dudukku dua bangku di belakangmu, makanya aku memerhatikanmu." Indra menyeringai. "Tahu nggak, kamu satu-satunya orang yang berani bilang begitu sama Pak Banu, lho. Beliau itu terkenal karena kegalakannya. Bahkan berandalan di kelas saja mati kutu kalau bertemu."

"Pantas. Harusnya kamu kasih tahu dari awal," Hira mendengus. Ia mulai merobek bungkusan roti isi. Ia mengintip isinya, yang ternyata berupa sosis berlumur saus tomat. Ia juga menusukkan sedotan pada karton susu, sebelum perlahan menyesapnya.

Di depannya, Indra melanjutkan seraya mengunyah batagornya yang kesekian. "Aku juga pernah sih, disuruh maju ke depan. Kalau tidak bisa ya pura-pura saja sudah berusaha. Biasanya Pak Banu bakal menyuruh duduk kembali kalau sampai memakan waktu lama."

Masalahnya, Hira tidak mau berlama-lama berdiri diam selama sepuluh menit tanpa usaha berarti. Daripada mengulur waktu, mending jujur saja, kan?

"Tapi yah, sekarang tidak banyak yang kesulitan saat dipanggil. Begini-begini, kelas kita termasuk rajin. Soalnya bakal gawat kalau ketahuan 'itu'."

Itu? Hira mengernyit. Apa yang dimaksud Indra? Ia berbicara santai seolah Hira seharusnya tahu. Seperti tahu bahwa satu ditambah satu adalah dua, amat jelas.

"Kamu juga," tiba-tiba Indra mengarahkan ujung garpu ke wajah Hira. Saus kacang yang tersisa di sela-sela garpu menetes mengotori meja. "Jangan sampai gagal di ulangan Matematika besok. Bisa bahaya jika jatuh ke posisi terakhir, tahu. Terakhir kali, murid lain nasibnya tidak bagus."

Posisi? Murid lain? Nasib? Oke, Hira tahu mendapat nilai jelek memang bukan hal yang bagus, tapi seberapa berbahayanya? Segalak apapun Pak Banu, menurut Hira beliau tidak mungkin melakukan hal aneh-aneh ke anak didiknya. Atau.. mungkin?

"Kamu ini daritadi ngomong apa? Itu apa maksudmu?"

"Maksudku..." Indra kembali memajukan diri ke arah Hira. Suaranya melembut, nyaris berbisik hingga Hira susah mendengar kata-katanya. "Situs peringkat, lho. Pasti kamu sudah dapat tautan situsnya juga, kan? Di sini, jarang yang menyebut situs itu secara langsung. Nanti pamali."

Tanda tanya di kepala Hira malah semakin membesar oleh jawaban Indra. "Peringkat? Peringkat apa? Aku belum dapat tautan apapun."

"Eh, serius?" Giliran Indra yang keheranan. "Cukup lama juga, ya. Yah, tunggu saja nanti malam. Paling kau akan mendapatkan sebuah tautan. Sebelumnya, semua murid juga dikirim tautan itu."

"Memang sebenarnya tautan apa yang kamu mak —"

Pertanyaan Hira terputus oleh bunyi bel nyaring lewat speaker. Sekeliling mereka seketika dipenuhi pekikan riuh-rendah. Kebanyakan segera bangkit dari duduknya, membereskan meja, setelahnya pergi terbirit-terbirit ke kelas masing-masing. Beberapa meninggalkan sampah bungkus makanannya begitu saja di meja, memantik rasa kesal di hati Hira. Kekesalannya semakin bertambah sebab pembicaraan mereka justru terputus di saat penting.

Indra pun berdiri dari bangku. "Kita lanjutkan saja nanti," usulnya.

Hira balas memandang masam. "Ini sudah istirahat kedua."

Indra menyengir serba salah. "Duh, habis pulang aku masih ada urusan. Kalau begitu, tanyakan besok kalau masih penasaran, ya. Meski kuyakin kamu pasti paham setelah melihat situs itu."

Tanpa mampu membantah, Hira terdiam mematung sementara Indra berlarian pergi ke kelasnya. Pada akhirnya, ia tak punya pilihan selain mematuhi bel sekolah. Lebih baik ia tidak terlambat. Sudah cukup ia 'ditandai' Pak Banu. Tidak perlu membuat musuh dengan guru lain lagi. 

Elephant In The ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang