Valentine's Special : Study Date

5 1 0
                                    

Hira mengintip layar ponselnya sekali lagi. Belum ada balasan dari Shei. Ia tergoda untuk menekan tombol 'panggil', namun kelihatannya total 17 panggilan dalam waktu 5 menit agak berlebihan. Cowok itu melongok melalui kaca kafe yang besar, memperlihatkan jalanan yang penuh dengan kendaraan dan pejalan kaki berlalu-lalang.

"Ini sudah lewat setengah jam..., tidak mungkin dia lupa, kan?"

Tadi pagi, Shei mengajaknya bertemu di salah satu kafe yang baru saja dibuka, dengan kedok belajar bersama. Karena Hira juga tidak punya kegiatan lain untuk dilakukan, ia mengiyakan saja. Meski sebenarnya ajakan Shei cukup aneh. Hari ini tanggal merah, sekolah diliburkan. Bukannya tidak boleh belajar di hari libur, tetapi setahu Hira, Shei bukan orang yang gila belajar macam Angga. Selain itu, daripada Hira, Shei bisa mengajak Cecil atau Gaby yang sama-sama cewek, kan?

Kendati demikian, Hira tetap membawa buku pelajaran, catatan beserta alat tulisnya dalam tote bag yang kini dibiarkan tersampir di kursi sebelahnya. Hira dapat merasakan tatapan tajam salah seorang waiter kafe yang seolah menusuk punggungnya. Wajar, ia sudah hampir setengah jam di sini dan belum memesan apa pun selain secangkir kopi. Itu pun telah lama habis, sebab awalnya Hira berniat menunggu Shei sebelum memesan.

Saat Hira bermaksud bangkit dari bangkunya dan mengabaikan janji mereka, seorang gadis bersurai ungu tampak dari balik jendela, berjalan hingga membuka pintu kafe. Bel di atas pintu berdenting. Hira kembali duduk setelah melihat Shei yang menghampiri kursi di depannya.

"Lama amat," tegur Hira, menahan desakan untuk menggerutu.

"Sori, tadi aku ada urusan sebentar." Shei melambaikan tangan, memanggil seorang waiter yang dengan sigap menghampiri mereka.

"Silakan, mau pesan apa?"

Shei menerima menu yang diulurkan padanya, kemudian mulai membuka-buka tiap lembaran. Matanya sejenak beralih menatap Hira. "Kamu udah pesan?" tanyanya, seolah baru teringat.

Hira menggeleng. "Aku sengaja nungguin."

"Wah, gentleman banget," balas Shei asal-asalan. Ia menunjuk sebuah gambar makanan. "Aku mau ayam geprek ini aja, ya Kak. Minumnya, um..., jus alpukat, deh."

Perempuan tersebut segera mencatat pesanan Shei, lalu beralih ke arah Hira. "Kakaknya bagaimana? Mau disamakan juga?"

"Ayo cobain ayamnya, Ra. Kata temanku recommended, lho. Nggak begitu pedas, kok." Shei ikut menawari.

Hira spontan menggeleng. Dari pengalamannya bersama Sheila, ia setidaknya tahu satu hal ; jangan mempercayai gadis itu soal urusan makanan pedas. Tidak pedas bagi Shei tidak berarti sama dengan definisi 'tidak pedas' lidah orang lain. Malah, Hira curiga cewek di hadapannya ini bisa memakan satu buah cabai Carolina utuh dan tetap bersikap tenang.

"Aku... banana nugget dan cokelat milkshake."

"Aku baru tahu kamu suka makanan manis."

Shei berkomentar selepas mereka ditinggalkan menunggu berdua. Hira mengangkat bahu, "aku butuh asupan gula buat belajar."

"Ah, iya, belajar ya.. aku hampir lupa tujuan kita." Shei bergumam. Ia merogoh tas selempangnya, mengeluarkan buku catatan miliknya. Hira menaikkan sebelah alis mendengar gumamannya, namun tidak berkomentar.

Mendadak, hening. Tiada di antara mereka yang berusaha membuat percakapan, atau sekadar memecahkan atmosfer canggung yang mulai menggelayut di udara. Hanya sayup lagu dari speaker kafe yang menengahi mereka. Hira tidak sesering itu bersama Shei, alhasil ia tidak tahu topik apa yang sekiranya pantas dibawa, pun sebaliknya. Dalam diam, Hira membuka lembar buku pelajarannya.

Elephant In The ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang