[6] Teman Lama

8 2 0
                                    

Sekolah memuakkan.

Situs misterius.

Gadis aneh.

Ketiga hal itu berputar-putar dalam benak Hira sembari ia mengayuh sepeda ke jalan rumahnya. Panasnya terik mentari menambah beban pikirannya. Karena ingin cepat pulang, Hira mengambil jalan pintas. Biasanya dia tidak melintasi jalur ini, tapi rasanya pergantian suasana sesekali bisa membantu memperbaiki mood-nya.

Ia memicingkan mata, menatap kejauhan. Bangunan sekolah berwarna biru dan putih menjulang. Para remaja yang berdiri bersisian di depan gerbang menunggu jemputan, beberapa mengibas-ngibas tangan mengusir gerah. Seragam yang mereka kenakan tampak familier di mata Hira.

Oh, iya! Sial, bagaimana aku bisa lupa, sih?

Hira refleks menyumpahi dirinya dan kebodohannya. Ia seketika ingat mengapa akhir-akhir ini menghindari melewati jalan tersebut. Sekolah yang hendak ia lewati adalah bangunan sekolah lamanya, SMA 5 Utara. Sekolah yang ia hadiri selama satu setengah tahun, sebelum akhirnya dikeluarkan.

Hira nyaris membanting setang sepedanya untuk berbalik, namun ia takut kalau tindakannya nanti malah lebih mencurigakan. Ia mengecek sekitarnya, berharap tidak ada orang-orang yang ia kenal. Jika tidak ada, mungkin dia bisa langsung mengayuh sepeda sekuat tenaga dan—

"Oke, sampai ketemu besok, ya."

"Jangan lupa kerja kelompok hari ini, lho!"

"Iya, iya. Nggak bakal lupa, kok."

Hira mendengar suara seseorang yang amat dikenal. Kebetulan, suara orang yang amat dihindarinya sejak ia pindah sekolah. Dari semua tempat, Hira tidak mau mereka sampai bertemu di sini. Ia celingak-celinguk memerhatikan sekelilingnya, hingga ia melihat sebuah toko kelontong yang cukup jauh dari sekolah, tapi dekat dengan posisi Hira sekarang.

Hira merasa memperoleh suatu ilham. Ia dapat memakai toko kelontong itu sebagai alibi, apabila seseorang menemukannya. Lagipula, ia memang sedang ingin membeli air mineral. Tanpa berlama-lama, Hira memarkirkan sepedanya di depan toko kelontong. Ia masuk ke dalam, lalu berjalan di antara rak etalase. Ia menarik pintu lemari pendingin yang transparan, kemudian mengambil sebotol air mineral dingin.

"Lho, Hira?"

Sekujur tubuh Hira menegang. Pegangannya pada botol mengencang. Dengan ragu-ragu, ia membalikkan badan, menjumpai sesosok perempuan sebayanya, berbalut seragam SMA 5 Utara.

Lawan bicaranya memajukan langkah, mendekati Hira. Kedua kaki Hira terdiam kaku, tak mau bergerak. Ia menatap pasrah lawan bicaranya.

"...Maya?"

"Iya, aku Maya."

Pupil mata Hira bergulir lamban, menginspeksi ujung helai rambut sampai kaki gadis bernama Maya tersebut. Tentu ia tidak lupa dengan Maya, teman semasa kecilnya yang juga pernah bersekolah di SMA yang sama. Mereka lumayan dekat, bersama teman-teman Hira yang lain. Maya adalah salah satu dari sedikit orang yang mau mempercayai Hira.

Akan tetapi...

Hira menahan senyum getir.

Akan tetapi, bahkan dia pun membalikkan badan padaku.

"Aku nggak menyangka ketemu kamu di sini. Sedang apa?"

Hira menggoyang-goyangkan botol dalam cengkeramannya, mempertegas maksudnya. "Rumahku kan, dekat daerah sini," tambahnya.

"O-Oh..."

Suasana mereka berubah canggung. Maya menunduk, memperhatikan tali sepatunya. "Kamu... bagaimana sekolahmu?"

"Oh? Bagus banget, kok. Sekolahnya sempit, cuma punya 2 kelas di setiap angkatan dan muridnya anak buangan dari sekolah favorit. Aku sudah 3 minggu di sana dan belum punya teman. Apalagi, aku baru tahu sepertinya ada perundungan di kelasku. Menarik banget, iya kan?" Hira mengangkat bahu. Awalnya ia tidak berniat berkata sedingin itu, tetapi pertanyaan Maya menyulut kembali amarah yang ia pendam.

"Hira, aku tak bermaksud begitu..."

"Aku paham. Sama dengan kau tidak bermaksud menyakitiku saat menudingku 2 bulan yang lalu. Tapi, aku sudah nggak peduli maksudmu. Apa pun yang kau maksud sebelumnya, hasilnya tetaplah aku yang dirugikan."

Maya menggigit bibir, lidahnya terasa kelu. "Anak-anak kelas masih belum melupakanmu," ucapnya lirih. "Aku dan mereka... kami sama-sama merasa apa yang kau rasakan ini tidaklah adil. Harusnya, hukumanmu tidak seberat itu. Kau tidak harus dikeluarkan."

Dan siapa yang membuatku dikeluarkan pada akhirnya, hah?

"Kau yang mengirim pesan berisi permintaan maaf itu seminggu yang lalu, kan?"

Maya terperanjat. "Ba-Bagaimana kau bisa tahu?"

"Maya, kita sudah saling kenal berapa tahun, sih? Walaupun kau tidak memakai ponselmu sendiri, aku tahu kau yang mengetikkannya. Tidak ada orang yang kukenal yang mengetik serapi dirimu, apalagi dengan tambahan tanda baca pula. Dan lagi..."

Hira tidak meneruskan akhiran kalimatnya.

Kalian kan pacaran, tidak susah untuk menukar ponsel.

"...Yang tahu persis masalah di antara kami cuma kamu."

Gadis itu mengalihkan pandangnya dari Hira. "Dipta memarahiku saat tahu aku mengirim pesan itu padamu, lalu menyuruhku menghapusnya. Tapi kamu sudah terlanjur membacanya."

Dipta.

Hira bergidik. Ia bisa merasakan hawa dingin menjalari tengkuknya kala nama yang mulai jarang ia dengar kembali terdengar. Ia pikir, berada di sekolah yang berbeda bisa setidaknya meredakan kesumatnya tiap kali mendengar namanya. Nyatanya, tak semudah itu melupakan akar penyebab dirinya dikeluarkan di sekolah. Apalagi, bila orang itu adalah teman yang selalu bersamanya sejak mereka kecil.

"Tentu saja, kalau aku jadi dia, aku bakal marah. Aku tidak mau orang lain seenaknya mengatasnamakan diriku untuk hal yang sungkan kulakukan. Dan kau—" Hira menuding Maya, "aku juga marah karena kamu seenaknya berpura-pura jadi dia. Apa kamu tidak memikirkan perasaanku dulu? Menurutmu apa yang kurasakan saat membaca pesannya? Kamu benar-benar bermaksud baik padaku, atau sebenarnya kamu cuma tidak tahan dirundung perasaan bersalah sendirian?"

Maya tidak menjawab. Hira mendengus. Sudahlah, tidak ada gunanya berdiam diri di sini. Toh, orang yang sedari tadi menjadi pembicaraan mereka telah lama berlalu. Hira mengantongi air mineral yang yang ia bayar ke dalam kantong plastik. Ia bahkan tidak berkedip saat melewati Maya yang masih bergeming.

Seraya menuju tempat sepedanya terparkir, ponsel dalam saku celananya bergetar. Sebenarnya Hira tidak terlalu tertarik, namun ketimbang canggung mengeluarkan sepeda sambil bertatap-tapan dengan Maya, ia memutuskan melihat isi pesan yang masuk.

Rupanya dari grup kelasnya. Apaan, sih? Paling-paling mereka hanya meributkan tugas esok, melempar candaan atau hal tidak penting lain. Di luar dugaan, baris pertama dari pesan wali kelasnya menangkap perhatian Hira.

"Bohong..."

Cengkeramannya pada ponsel seolah mengendur.

"Indra... terlibat kecelakaan..?"

Elephant In The ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang