[1] Semua Awal Klise

24 3 4
                                    

Hira sekali lagi bertopang dagu, melemparkan lirikan pada pemandangan di luar jendela berupa lapangan rumput yang luas. Kini lapangan tersebut sedang dipenuhi oleh banyak murid, semuanya memakai pakaian olahraga. Sayup-sayup suara teriakan mereka dapat terdengar. Irinya, batin dia diam-diam. Kalau boleh memilih, ia lebih suka berada di tempat terbuka daripada mendengarkan pelajaran matematika di dalam kelas yang sempit dan panas ini. Meski ia bisa sedikit mengerjakan soal-soal tersebut, bukan berarti ia akan sukarela melakukannya. Apalagi, ruangan kelas dan siswa lain yang tampak asing semakin menambah keinginannya untuk segera keluar menghirup udara bebas.

Sudah dua minggu ia pindah ke sekolah ini. Dua minggu itu juga hidupnya begitu lempeng, tanpa warna ataupun cerita. Padahal dalam cerita, murid baru adalah orang yang banyak mengalami berbagai kejadian. Berangkat terlambat, bertemu kakak kelas rupawan, menjadi perhatian kelas, lalu mendapat teman...

Hira mendesah untuk kesekian kalinya. Seorang guru di depannya sedang menjelaskan persamaan rumus matematika yang terpampang besar-besar di papan tulis, tapi entah kenapa tidak ada satupun kata-katanya yang terserap masuk ke dalam otak Hira. Ia justru memperhatikan ruang kelasnya, ruang segiempat bercat putih dengan noda kusam menggumpal di langit-langit. Kipas angin berdebu menggantung diam di tempatnya, enggan melakukan tugasnya. Ia hanya bisa berharap pada jendela dengan kaca bolong satu untuk mengantarkan angin, yang tampaknya tidak berkenan berhembus lebih kencang. Nyatanya, tidak hanya dirinya saja yang tidak memberi perhatian berlebih ke deretan angka dalam buku.

Gerombolan anak perempuan di bangku paling ujung saling cekikikan sembari memandangi telepon genggam masing-masing. Beberapa menunjukkan isi layarnya pada teman di sampingnya. Gadis di tengah-tengah kelihatannya memimpin percakapan, amat mencolok karena pangkal rambutnya disemir warna ungu mengilat. Jam tangannya keemasan, sepertinya sengaja ia pamerkan, sebab tangannya kerap melambai di udara. Entah bagaimana ia bisa lolos dari mata para guru dengan penampilan mentereng begitu.

Tidak cuma anak perempuan, para cowok pun saling melempar gumpalan kertas di bangku belakang. Seruan, bahkan makian kecil lepas dari mulut mereka. Sisanya, yang tak punya teman untuk diajak bicara, tak punya pilihan selain diam-diam mengintip layar ponsel atau mencoret-coret buku tulis. Sejauh yang Hira perhatikan, siswa yang dengan tekun memperhatikan papan tulis cuma seorang cowok yang duduk di samping kanannya, berbeda dua bangku jauhnya. Raut wajahnya tegang, ujung bibirnya tertekuk ke bawah. Ia tidak mengacuhkan keramaian yang mengusik ketenangan kelas dari tadi.

Siswa yang tidak menaruh pehatian memang salah, namun guru yang membiarkan kekacauan itu, dan terus mencerocos melanjutkan pelajaran juga tidak terlihat tepat di mata Hira. Guru pria di depan kelas itu masih belum selesai dengan rangkaian rumus yang ia buat sendiri.

Yah, Hira diam-diam mencibir. Apa sih yang ia harapkan pada sekolah negeri kecil tempat penampungan para murid yang tidak terima di sekolah swasta atau negeri favorit? Sejak awal ia sudah memasang ekspektasi rendah, jadi ia tidak begitu terkejut melihat kondisi kelas, murid maupun guru yang ada. Sekolah lamanya memang bukan sekolah swasta berprestasi, melainkan sekolah negeri, namun setidaknya, kipas angin di kelasnya berfungsi dengan baik.

"Kira-kira siapa, ya, yang bisa memecahkan soal di papan tulis?" Tiba-tiba suara berat menggelegar ke seluruh penjuru ruangan, membungkam kicauan para murid yang riuh-rendah. Semua anak refleks memutar kepalanya menghadap guru tersebut. Raut mereka berubah tegang, tak terkecuali Hira.

"Tidak ada? Kalau begitu, Bapak tunjuk saja, ya. Karena ini tanggal 11, maka..." Guru itu membetulkan letak kaca matanya, lalu melihat sepintas daftar absen para murid. "Nah, ya. Absen 11, Pramariza Hirawan. Mana di antara kalian yang merasa punya nama demikian?"

Duh, mampus. Hira spontan menyumpah dalam hati. Apa ini karma sebab telah memandang rendah sekolah ini? Apa sekolah ini dilindungi penunggu tertentu, yang marah karena dihina Hira? Kalau begitu, bilang dong! Jika diprotes baik-baik, Hira tidak bakal keberatan mencabut kembali ucapannya. Menyerang pakai cara begini... dasar pengecut.

Hira patah-patah bangkit dari duduknya, jelas amat enggan. Ia mengangkat tangan rendah. "Em, saya, Pak.. eung.."

Siapa, ya? Awalnya Hira berniat menyebutkan nama sang guru, kemudian lidahnya terhenti begitu teringat bahwa ia tidak tahu namanya sama sekali. Malah kalau boleh jujur, meski telah berada di sekolah ini selama dua minggu, ia tak tahu nama guru di sini, kecuali kepala sekolah. Itu juga karena Hira sempat menemuinya saat proses administrasi.

Kedua ujung mata Hira menyipit, berusaha menangkap huruf pada name tag si guru. Setya... Suban..danu? Siapa nama panggilannya? Pak Setya? Atau Pak Banu?

"Heh, kenapa diam saja?" Suara bentakan menyadarkan Hira kembali. Tahu-tahu, sepasang mata tajam sudah terarah padanya. "Kamu si murid baru itu, kan? Dari SMA 5 Utara, bukan? Jarang-jarang ada yang pindah di tengah-tengah semester. Kebetulan, Bapak ingin tahu kemampuanmu."

Sudah disuruh maju, diberi ekspektasi pula. Sayang sekali Pak, tapi lebih baik Bapak siap-siap kecewa, batin Hira dongkol dalam hati. Ia berjalan dengan langkah terseret ke depan kelas, diiringi tatapan seluruh kelas menghunjam punggungnya. Tatapan tertajam berasal dari cowok rajin yang duduk di depan Hira. Sialan, apa dia sedang mengejek? Mungkin dalam hati ia sedang mengetawaiku, menyuruhku lebih serius memerhatikan. Bahkan gadis berambut terong pun menatap Hira penasaran. Uluran spidol dari guru terasa seperti mendapat mandat kerajaan saat tiba di tangan Hira.

Hira menatap nanar papan tulis putih yang menutupi tiga per empat permukaan dinding. Huruf-huruf bertinta hitam di depannya harusnya berbahasa Indonesia, tapi entah kenapa Hira malah merasa sedang berhadapan dengan bahasa alien. Ia menggurat beberapa angka, kumpulan rumus dasar yang ia hafal.

Semuanya terlihat mudah di awal. Ia dengan lincah mengganti rumus-rumus tersebut dengan angka dalam soal, gurat sana, tulis sini, kurang sana, tambah sini...

Gerakan tangannya berhenti. Sudah kuduga, memang percuma saja. Hira menarik napas dalam-dalam. Ia mempersiapkan kata-kata dalam hati, serta senyum paling memesona yang ia bisa. Kemudian, ia berputar pelan menghadap ke guru, juga seluruh isi kelas. Senyum lebar tanpa dosa terukir di sudut bibirnya. Sambil memprediksi tanggapan yang akan ia terima, Hira melontarkan kejujuran yang sudah ia pendam sejak sepuluh menit lalu,

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa."

Elephant In The ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang