[8] Dari Balik Tirai

9 2 0
                                    

Hira tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Dan sama laiknya soal-soal matematika lain yang tak mampu ia pecahkan, Hira hanya akan melompati pertanyaan itu. Setidaknya sampai ia menemukan suatu pencerahan, atau sampai waktu pengerjaan sudah mepet sehingga ia terpaksa menjawab. Tapi sementara ini, waktu yang ia miliki masih terlampau banyak. Ia bahkan belum apa-apa. Hira masih belum tahu apa-apa tentang situs itu, kecuali apa yang telah dilihatnya seminggu ini. Ia masih berada di nol.

OK, Hira berbicara dalam benaknya. Tampaknya ia tak bisa sepenuhnya berharap bisa bicara dengan Sheila. Bukan berarti ia bakal menyerah, tapi ia juga harus mulai menyiapkan rencana lain. Mungkin ia harus coba menyelidiki kecelakaan Indra? Cara termudah adalah bertanya, meski ia ragu guru tahu banyak. Bertanya pada orangtua Indra barangkali lebih menguntungkan. Hira tahu tempat rumah sakit Indra dirawat berkat pemberitahuan lewat ponsel. Ia dapat berdalih menjenguk, lalu...

Tok!Tok!

Ketukan di pintu kamar mandi membuyarkan lamunan Hira.

"Woi, udah belum? Lama amat."

Hira menahan gerutuan dan mulai melipat seragam sekolahnya. Hari ini pelajaran olahraga. Ia baru saja selesai berganti pakaian, berupa kaus lengan pendek berwarna biru muda bergaris-garis hitam serta celana panjang hitam pula.

Diam-diam ia menanti pelajaran olahraga. Itu adalah satu-satunya mata pelajaran di mana ia bisa pergi ke luar kelas tanpa dimarahi, memakai kaus, dan tak perlu pusing memecahkan soal. Hira keluar dari kamar mandi yang berada di lantai 2, berjalan menyusuri deretan kelas sebelas hingga menuruni tangga menuju ke lapangan.

Sekolahnya yang baru tidak luas, namun untuk menyiasati hal tersebut, dibangunlah dua lantai bangunan mengelilingi sebuah lapangan serbaguna yang menggabungkan lapangan futsal dan basket sekaligus. Masing-masing bangunan berbentuk memanjang, satu berada di utara sedangkan yang lain berada di timur. Bangunan sebelah utara semuanya dikhususkan untuk kelas 10 sekaligus perpustakaan, dan lantai duanya difungsikan untuk kelas 11 juga lab. Sebelah timur adalah ruang guru, kantor TU, UKS beserta aula. Lantai dua sayap timur sepenuhnya dipakai sebagai ruang kelas 12. Khusus kantin, terdapat bangunan semi permanen mungil di bagian barat, berhadap-hadapan dengan ruang guru. Bisa jadi agar para siswa yang berniat membolos berpikir dua kali.

Begitu Hira sampai di lapangan, ada Sheila dan Asri yang berdiri berjauhan, menjadi penanda teman-teman kelasnya sudah berkumpul di sana. Mereka kelihatannya sedang menonton cowok-cowok kelas 12 yang asyik bermain basket. Hira jadi teringat, ia lumayan sering bermain basket di sekolahnya yang dulu, bahkan ikut bergabung dengan ekskul basket. Beberapa kali mengikuti pertandingan antar sekolah. Bila dipikir lagi, mungkin karena Hira semata mengikuti temannya. Dipta. Dan sekarang... Hira tidak yakin apakah ia masih ingin bermain basket atau tidak.

Ia memandang nanar sesosok laki-laki yang baru saja berhasil mencetak three point. Seketika sorakan membahana dari barisan di pinggir lapangan. Beberapa pemuda-pemudi juga meneriakkan namanya,

"ARCHIEE, KEREEN...!"

Archie? Nama yang sempat muncul dalam pertengkaran antara Sheila dan Asri lalu. Inikah orangnya? Hira menaikkan sebelah alisnya. Yah, kalau memandang tampangnya, kayaknya wajar kalau sampai diperebutkan dua gadis. Garis rahangnya tegas, posturnya tegap, hidungnya mancung, lesung pipinya terlihat jelas saat ia tertawa merayakan aksinya.

Ngapain juga aku ngelihatin wajah cowok lama-lama?

Hira mendengus.

Lelaki yang dipanggil Archie itu sudah kembali bermain, fokus merebut bola dari tangan lawan. Mau tidak mau, Hira ikut tertarik menonton sejenak. Ia terbawa arus penonton hingga terdorong ke barisan paling depan, tempat ia menyaksikan dengan jelas Archie yang kini menggiring bola ke ring.

Elephant In The ClassTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang