bukan prioritas

50 5 0
                                    

Candra masuk ke ruang rawat dengan menenteng dua plastik berisi cemilan dan minuman, dia kalah bermain Uno dengan Cakra, Tristan dan Galang, jadi dia yang harus membeli cemilan dan minuman untuk mereka semua.

"Mas Can, mau keripik kentang." Pinta Chantika pada Candra yang sibuk mengeluarkan satu persatu cemilan dari dalam kresek.

Chantika sudah bangun setengah jam setelah di pindahkan ke ruang rawat dan tak berselang lama, Runa juga bangun.

Candra memberikan sebungkus keripik kentang pada Chantika, "Lu mau apa?" Beralih bertanya pada Runa yang terlihat murung.

Runa menggeleng, dia tak berminat untuk ikut makan cemilan yang di beli oleh Candra.

Candra mengelus rambut Runa, "gak papa, di sini ada gw sama yang lain." Runa mengangguk pelan, sebenarnya dia merasa sedih, disaat seperti ini saja orang tuanya tidak ada yang menemaninya, sibuk dengan pekerjaan.

"Bunda jadi balik?" Chantika bertanya dengan ponsel yang ada di tangan kanannya.

"Iya, sampai sini besok pagi mungkin." Jawab Cakra yang mengetahui kalau Rani akan kembali dari Bali dengan penerbangan pagi.

"Kalian gak tidur?" Om Malik masuk ke ruang rawat setelah selesai berbincang melalui telfon dengan temannya.

"Udah pernah." Jawab Tristan yang di hadiahi lempar satu bungkus yupi oleh Candra.

Om Malik hanya melirik sekilas ke arah Tristan dengan senyum lelahnya menghadapi remaja tersebut.

Seorang perempuan seumuran Tante Lia masuk ke ruang rawat tersebut, "permisi." Sontak mereka yang berada di dalam ruang rawat mengalihkan pandangannya ke arah pintu masuk.

"Eh cari siapa ya?" Tanya om Malik.

"Saya ke sini untuk menemani, Runa." Jawab perempuan tersebut yang masih berdiri di ambang pintu.

"Masuk aja tante, jangan di depan pintu gitu." Runa melambaikan tangannya aagr perempuan tersebut masuk.

Nadila, perempuan berusia 35 tahun yang setengah tahun terakhir ini di kenalkan oleh papa Runa sebagai calon istrinya.

"Maaf ya, Tante baru dateng." Ujar Nadila setelah meletakkan tasnya di nakas samping ranjang rawat Chantika.

"Gak papa, makasih udah mau ke sini." Seutas senyuman terukir samar di wajah Runa.

Chantika yang menyaksikan pemandangan tersebut di depan matanya sedikit berharap jika ayahnya akan menjenguknya juga.

Esok paginya tepat pukul delapan, Rani menginjakkan kakinya di ruang rawat Chantika dan Runa. Menghampiri anak perempuan satu-satunya, memeluknya erat dengan terus merapalkan kalimat maaf berulang kali.

"Chantika gak papa, Bunda." Chantika berujar sembari menepuk-nepuk pelan punggung Rani yang masih mendekapnya erat.

"Maafkan Bunda, tidak bisa langsung pulang kemarin." Ujar Rani melepaskan pelukannya, mengusap pucuk kepala Chantika.

Chantika mengangguk, "Runa belum di peluk bunda."

Runa yang mendengar ucapan Chantika mengerutkan keningnya, sungguh dia tak berekspektasi hal ini akan terjadi.

"Chan, mau gw pukul pakai tiang infus gak?" Runa menatap sinis Chantika.

Rani terkekeh geli melihat tingkah mereka berdua, "sini bunda peluk, sayang." Runa tak sempat menolak, Rani sudah lebih dahulu memeluknya.

Setelah sesi berpelukan tadi, Rani berbincang dengan Nadila, ini pertemuan kedua mereka, yang pertama ketika rapat pengambilan raport kelas sepuluh Chantika dan Runa.

Runa dan Chantika duduk di satu bangsal, mereka saling berhadapan untuk bermain Uno. Di rumah sakit mereka hanya tidur tiduran tidak ada kegiatan yang membuat mereka menjadi sangat bosan.

"Uno!" Runa berteriak riang, berhasil mengalahkan Chantika.

"Kebetulan aja itu mah." Ujar Chantika.

"Enak aja, ayo main lagi." Runa mengocok kartu Uno dan membaginya.

Di ruang rawat mereka hanya tersisa mereka berdua, Rani dan Nadila sedang mencari makan siang di kantin rumah sakit. Sedangkan Cakra, Candra, Tristan, dan Galang sudah pulang ke rumah pada pukul enam pagi tadi.

"Bokap lu gak pulang, Chan." Runa bertanya setelah mengeluarkan kartu Uno berwarna merah.

"Gak tau, gw gak berharap dia pulang." Chantika merespon ucapan Runa setelah meneguk air mineral kemasan botol.

"Kalau bokap lu pulang nih ya, respon lu gimana?"

"Ya seneng, walaupun agak mustahil."

"Siapa tau, dia pulang buat lu Chan."

"Gak mau berharap lebih gw, bisa telfonan sama dia aja udah seneng."

Kepulangan ayahnya adalah hal yang sedikit mustahil, masih teringat di dalam memori ingatan Chantika, ketika dia masih duduk di bangku kelas enam SD, dia juga mengalami kecelakaan dan ayahnya itu juga tak pulang.

Jadi untuk kali ini pun Chantika tak mengharapkan kepulangan ayahnya, satu hal yang Chantika percaya saat ini adalah dia bukan prioritas untuk ayahnya.



pasukan Ayah HelmiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang