Small Talk

18.8K 2.2K 134
                                    

Ini akan menjadi tantangan yang berat bagi Satya.

Sore itu, sekitar empat puluh murid sekolahnya berkumpul di aula sekolah yang besar. Pintunya sengaja ditutup agar tidak mengganggu konsentrasi anak-anak teater Panji Arka—nama klub teater sekolah mereka, yang ngomong-ngomong, sudah berdiri sejak tahun 1990. Rencananya, mereka akan mulai berlatih untuk pementasan yang akan ditampilkan empat bulan lagi.

“Oke, kita mulai latihannya.” Pemuda yang dipercayai sebagai sutradara utama pementasan kali ini mulai memberi titah.

Waktu terus bergulir seiring dengan sesi latihan. Satu demi satu anggota klub menunjukkan kemampuannya dalam berakting. Tidak ada yang main-main, sebab semua tahu kalau pementasan yang akan mereka lakukan adalah sesuatu yang sangat penting.

Usai latihan, Satya mengumumkan jeda istirahat selama lima belas menit, sementara tim yang akan bekerja di balik panggung segera membahas hasil latihan barusan.

“Sat,” Aryo, seseorang yang menjabat sebagai asisten sutradara satu dari kelas 11 IPS 3, berlari menghampiri Satya tanpa merasa takut—ia lumayan mengenal Satya lewat ekskul teater, untungnya—dan menyodorkan naskah asli yang sudah dicorat-coret.

“Gue, Hara, dan Rio udah mikir pembagian tokohnya. Tinggal lo approve aja.”

Satya mengambil naskah yang disodorkan wakil ekskul teater yang seangkatan dengannya itu dan mulai menelusuri pembagian pemerannya. Sebenarnya semua sudah sesuai ekspektasi Satya—hebat sekali tiga orang itu karena punya selera yang sama dengan Satya—, hanya saja ada satu yang mengganjal.

Pemeran untuk tokoh utama masih kosong.

“Kenapa belum diisi?”

Aryo dan Hara langsung bertukar tatap, sedangkan Rio— murid 11 IPA 2 yang menjabat sebagai asisten sutradara dua— langsung mengambil alih, “Bagian pemeran Andjani... kita bertiga bingung. Gue dan Hara suka performanya Gita, tapi Aryo bilang wajah Gita terlalu keras untuk tokoh kayak Andjani. Dia lebih suka kalau Rima yang jadi Andjani aja.”

“Yah, selain fakta kalau Aryo naksir Rima.” Penulis naskah dan satu-satunya perempuan di antara tiga orang pemuda itu berceletuk dengan sangat tenangnya, tidak mempedulikan ekspresi horor Aryo ketika mendengar ucapannya—seakan-akan pemuda itu baru saja melihat seekor sapi bersayap terbang di atas menara Eiffel diiringi lagu Gloomy Sunday yang di-remix oleh Calvin Harris.

Rio mengernyitkan dahi. “Serius?”

“Ya, lo liat aja gelagatnya.”

“Hara!” Kenapa ini malah jadi ajang bongkar aib, sih?!

“Dih, rasanya Rima nggak bakal suka lo.” —Rio.

Impossible.” —Hara.

“Sangat-sangat-sangat impossible.”—Rio.

“Ah, luar biasa impossible.” —Hara.

“Gue denger dia lagi HTS-an sama Kak Denis.” Satya (yang kebetulan sedang tahu gosip) ikut dalam pembicaraan yang rasanya bisa membuat keoptimisan Aryo tumbang.

“Oke, gue yakin seratus persen lo bakal gagal dapetin Rima.” –Rio (lagi).

“Im-pos-si-ble.” –Hara.

Demi menyelamatkan harga diri dan perasaannya yang dibuat hancur lebur karena ucapan Satya, Hara, dan Rio—Aryo belum bisa menerima gosip kalau gebetannya sedang HTS-an dengan mantan ketua ekskul teater yang sangat dia hormati—, pemuda itu memilih memotong pembicaraan tiga anak setan di depannya.

“OKE, OKE! Kembali ke topik!”

Satya menghela napas. Ia mengembalikan naskah itu pada Aryo. “Gue setuju sama Hara dan Rio.”

LethologicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang