"Gue nggak nyangka lo bisa segoblok ini, Sat."
Erangan memenuhi seisi auditorium yang saat ini hanya dihuni oleh dua anak Adam. Sepasang mata sewarna kayu mahoni seketika menjatuhkan tatapan tajam pada Aryo. Netra itu mendidih; frustasi.
"Lo yang mohon-mohon ke gue buat ke sini!"
"Oke, gue minta maaf soal itu!" balas Aryo, suaranya seketika meninggi. "Maaf, tapi lo adalah sutradara buat pentas teater kita! Udah sewajarnya kalau teater kita ini jadi fokus utama lo!"
Masih dengan penuh emosi, Satya mendesah panjang, berusaha keras menenangkan diri. Beruntungnya, seluruh anggota teater yang awalnya berkumpul dalam ruangan besar itu sudah pulang sehingga Satya bisa meledak tanpa disaksikan banyak orang. Spontan, ia menidurkan diri di atas panggung, merasakan dinginnya lantai yang kontras entah berapa derajat Celcius dengan suhu tubuhnya. Iris mahoninya lurus menatap langit-langit auditorium, lalu perlahan terpejam rapat. Semuanya gelap. Kemudian, ia berusaha untuk mengatur napasnya lagi. Degup jantungnya terdengar jelas. Lama-lama, Satya dapat mengikuti ketukan tiap kali organ vitalnya itu berdetak. Dihitungnya detak yang muncul selama sepuluh detik penuh tanpa tergesa-gesa.
Satu.
Dua.
Tiga.
Hingga mencapai sepuluh hitungan.
Ketika ia kembali membuka mata, Satya bisa merasakan napasnya tidak menderu lagi. Degup jantungnya perlahan melambat. Pandangannya menjernih. Ia pelan-pelan memperoleh kembali kontrol atas dirinya.
"Gue buru-buru ke sini." ujarnya, entah kepada siapa.
"Tapi paling enggak lo pamit ke Dika." Suara Aryo terbawa udara, terdengar begitu tenang. "Pamit, bilang apa kek, bukannya langsung pergi dan nyerahin semuanya ke Evan."
Satya mengusap wajahnya pelan. "Gue nggak bisa bilang ke dia. Gue nggak bisa lihat wajah kecewanya."
"Elo tahu betul kalau dia bakal lebih kecewa kalau lo nggak pamit."
Rahang si sutradara utama mengeras. Urat pada leher dan dahinya menegas, setengah mati memendam dongkol dalam hati—bukan kepada orang lain, melainkan pada diri sendiri yang dengan cepatnya memutuskan sebuah langkah gegabah. Satya bodoh, Satya tolol, ia akui sendiri soal itu.
"Gue manusia paling goblok sepanjang segala abad."
Aryo menepuk kepala kawannya, memberi gestur yang menyatakan kalau ia bersimpati pada Satya. Melihat si sutradara utama frustasi memang bukan hal yang baru buatnya, tapi jujur saja, ini pertama kalinya Satya kesusahan mengatasi masalahnya.
"Sat, orang pintar sekalipun pasti pernah ngelakuin hal-hal bego. Tapi, gue tahu lo ngerti kalau itu bukan intinya."
Dari atas panggung, si pemuda IPS memandang ke arah deret kursi penonton yang kosong. Jajaran kursi berwarna merah marun itu akan selalu jadi penonton setia saat latihan hingga pentas nantinya.
"Yang penting adalah lo sadar kalau lo salah dan minta maaf..."
.
.
Lethologica(c) Aresiaccino
.
.
Asa sepertinya bakal jadi the next Bad Luck Bryan. Baru saja ia berusaha menghindari pembicaraan dengan orang—tidak berusaha sok, sumpah. Asa hanya sedang malas saja dan ingin tidur-tiduran di UKS— ia justru bertemu dua orang senior dari grup absurd bernama KPK. Angan-angan kiper itu untuk bermanja pada bantal UKS punah sudah saat Mada menengok ke arahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lethologica
Teen Fiction[R-15] [1/2] Mantan (n). Makhluk yang dulu mengisi hati kita, namun kini tidak lagi. (Namun, bukan berarti tidak bisa CLBK). Sebuah kisah tentang siswa SMA super jutek, tipikal antagonis, dan gay dengan seorang siswa lain yang super tidak peka dan...