The Reason

16.7K 1.9K 102
                                    

Lagu Photograph milik Ed Sheeran adalah satu-satunya pemecah keheningan di kamar bercat baby blue itu. Di luar, bulan lenyap ditelan awan yang meneteskan hujan rintik-rintik. Membasuh kaca jendela yang terkatup rapat dan sudah tertutup oleh tirai.

Satu tubuh terbaring di atas tempat tidur. Satu-satunya yang mengindikasikan kalau ia masih bernyawa adalah dada yang kembang kempis— menandakan adanya kegiatan bernapas.

Sudah sekitar seminggu sejak kejadian di  taman dan Dika masih kerap memikirkan ucapan Satya. Setelah pemuda jutek itu mengatakan hal yang tak pernah diduga pemuda lainnya, tak ada percakapan lain yang terbangun. Bahkan hingga Devin dan Raka selesai memainkan ronde kedua, mendatangi mereka dengan tubuh berkeringat, lalu mengajak untuk pulang, tidak ada kata yang terucap di antara ia dan Satya.

Setiap kali mereka bertemu di parkiran sepeda motor atau koridor sekolah, Satya selalu bersikap seakan tidak ada yang terjadi. Sikap dinginnya senormal biasa. Membuat Dika lama-lama berpikir kalau memang tidak ada yang terjadi.

Bisa saja cowok jutek itu mengucapkannya karena iseng—sebenarnya, Dika tidak yakin kalau Satya bisa iseng— dan pemuda sosial itu menganggapnya serius. Bisa saja Dika berhalusinasi. Bisa saja Satya setengah mabuk kopi ketika bilang begitu, dan skenario 'bisa saja' yang lainnya yang menimbulkan keraguan.

Dika berbalik menatap meja belajarnya. Ia melirik dinding yang berhadapan dengan tempat ia biasa belajar atau main laptop. Di dinding itu dipasang papan styrofoam yang permukaannya dipenuhi foto-foto dan catatan kecil. Kebanyakan dari foto itu diambil sendiri oleh Dika.

Ada fotonya dengan anak-anak De' Four karena namanya berawalan pakai D semua. Ia, Dharma, Devin, dan Dinda—anggota jurnalistik yang kerap mengajak Dika untuk kerjasama kalau ekskul itu ada proyek— membuat pose menggelikan. Di foto lain, kiri bawah, sedikit ke tengah, Indi sedang nyengir. Di samping gadis itu ada Asa—tumben blasteran itu tersenyum. Lalu di bagian tengah, dipasang foto Dika dengan si kembar—Gita dan Aga, kedua adiknya yang masih duduk di kelas enam SD—, selfie. Dan masih ada sekitar sebelas foto lain.

Pemuda itu tersenyum. Dengan loyo, ia beranjak bangun dan mendatangi mejanya, demi melihat lebih jelas kepingan memori yang berhasil diabadikan oleh lensa kamera. Tangannya menelusuri tiap lembar memori, hingga akhirnya jatuh pada foto di pojok kanan bawah. Tertimbun foto narsis Devin yang baru saja main basket.

Ukuran foto itu kecil—tidak dicetak sebesar yang lain. Sengaja ia sembunyikan di pojok sana. Kalau tidak salah, foto itu diambil ketika kelas sepuluh—mungkin saat class meeting pertama di semester dua, saat itu ia dan orang di dalam foto masih sekadar teman.

Memorinya terhenti di pertandingan final bulu tangkis putra. Pemuda di dalam foto itu di selatan sementaraGema, sebagai lawannya berada di utara. Pertandingannya berlangsung panas dan alot—penuh smash keras dan servis serta lambungan kok yang seakan mampu menyentuh langit-langit aula. Orang-orang bersorak—Dika sepenuhnya yakin mereka bingung mau menjagokan siapa.

Siang hari itu, Dika merasa ia perlu membawa kamera saat menyaksikan final pertandingan bulu tangkis. Remaja lelaki itu terus memotret hingga tangannya pegal. Momen demi momen tersimpan manis—para teman seangkatan dan kakak kelas yang asyik berteriak, Pak Pri yang kelihatan bangga karena berhasil melatih anak-anak ekskul bulu tangkisnya, dan para pemain sendiri.

Pemuda sosial itu masih ingat ketika ia mengarahkan moncong kameranya—tidak ada urgensi, hanya refleks semata untuk mengabadikan momen, karena entah mengapa pertandingan itu membuatnya merinding saking terpukaunya.

LethologicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang