What If

16.7K 2K 460
                                    

Bunyi air yang mendaras jatuh di atas lantai kamar mandi tidak bisa menenangkan pikiran Dika. Sambil membilas rambutnya yang dipenuhi busa sampo, ia sempatkan melirik ke kaca kamar mandi. Kulitnya pucat, bibirnya memutih, dan rambut Dika yang biasanya acak-acakan jatuh ke bawah karena basah. Ia kelihatan seperti orang sakit, tapi itu bukan masalah utama yang mengusik pikirannya.

Mengacak rambut, pemuda jurusan IPS itu menghela napas. Dika masih ingat betul kejadian beberapa saat yang lalu. Satya keluar dari kamarnya dan menyodorkan beberapa helai pakaian dan sebuah handuk tanpa berusaha menutupi—atau sebenarnya tidak menyadari?— semburat merah yang tumben-tumbennya timbul di pipi pemilik manik mahoni itu. Sebagai balasannya, Dika hanya bisa mengerutkan dahi; bingung hendak bereaksi apa untuk menanggapi kegelisahan mantannya yang notabene masuk fenomena langka.

"Lo mau keliaran atau duduk manis setelah mandi, itu terserah lo. Yang jelas, gue tetap di kamar."

Itu adalah ucapan terakhir Satya yang Dika dengar sebelum ia masuk ke dalam kamar mandi dan mulai membersihkan diri.

Dan sudahkah Dika bilang kalau ia sedang membilas tubuh di kamar mandi yang berada di dalam kamar mantannya?

Belum?

Tidak heran kalau saat ini, ia masih bisa mendengar suara samar senar gitar. Lalu, tak lama kemudian, sebuah senandung yang samar ikut memanjakan indra pendengarannya. Lama-lama, satu lagu yang cukup familiar bagi si manik jati mengiringi sesi mandinya. Sadar atau tidak, suara Satya yang rendah, dalam, dan tenang sukses membuat pipi Dika merona merah.

Dia tidak akan pernah lupa saat ini; ketika jantungnya berpacu lebih cepat seiring dengan senandung yang tak jauh beda dengan gumaman dari luar, atau ketika lagu lawas milik Sheila On Seven itu membuat bibirnya ikut bergerak tanpa sadar.

Biar. Biar ini jadi rahasia kecil buat Dika saja. Mana mau ia mengaku kalau suara mantannya itu berhasil membuatnya rindu masa-masa pacaran mereka?

.

.

Lethologica©Aresiaccino

.

.

Musik bisa jadi adalah pelarian terbaik untuk Satya—paling tidak untuk saat ini. Sejak tadi, ia menggumam tidak jelas dan mulai menyanyikan lagu-lagu dengan lirik yang disadur langsung dari ingatannya. Pemuda itu menyanyi apa adanya—acuh tak acuh kalau suaranya fals, lupa lirik, atau salah chord. Toh, Satya akui, fokusnya terpecah ke berbagai arah.

Dan Satya sadar diri ke mana mayoritas fokusnya tertuju.

Baru saja ia hendak meletakkan gitar, terdengar bunyi kamar mandi terbuka. Aktivitas Satya terpaksa berhenti di tengah jalan, sebab fokus si pelaku langsung ditujukan pada orang yang baru saja selesai membasuh tubuh.

Wangi sabun dan sampo menggelitik penciuman si manik mahoni, sedangkan matanya tertambat pada Dika. Tumben sekali mantannya yang butuh pelajaran kepekaan itu menunduk sambil mengusap tengkuknya. Satya sadar, entah didasari atas rasa enggan atau malu, si pemuda sosial berusaha tidak membuat kontak mata dengannya.

Tapi, sungguh, Satya tidak terlalu mempedulikan hal itu karena ia terlalu speechless menyaksikan pemandangan di depannya.

Baju pemuda itu benar-benar pas di tubuh Dika. Oke, sedikit longgar sebenarnya, tapi hal itu justru jadi poin plus di mata si manik mahoni karena membuat mantannya kelihatan adorable. Hanya kaos abu-abu dan celana training se-mata kaki—sesuatu yang bermakna kecil, tapi entah mengapa membuat Satya berusaha keras menutupi kecanggungannya.

"Cocok juga." aku Satya, tidak sadar kalau cara bicaranya persis cowok yang menilai pakaian pacarnya. Di kasus ini mantan, sih. Tapi sudahlah, toh memang cocok. Malah sangat cocok.

LethologicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang