Start Over

15.1K 1.8K 94
                                    

Kemeja sekolah tergantung manis di gagang pintu lemari. Matahari mengintip malu-malu dari balik pundak awan, sinarnya merambat pelan di dinding bercat broken white. Kamar itu diliputi kesenyapan. Gitar akustik yang sudah tak pernah disentuh selama tiga bulan lamanya disandarkan di pojok kamar. Sayup, terdengar bunyi air yang mendaras jatuh menghempas sesuatu.

Satya meraih handuknya. Pagi ini tak sedingin biasanya, maka ia memutuskan untuk keramas; mangkir dari kebiasaan keramas di sore hari yang kerap Satya lakukan. Diusapnya rambut hitamnya dengan lembut. Butiran air jatuh membasahi tengkuknya. Lekas, Satya menutupi bagian bawah tubuhnya menggunakan handuk. Pemuda itu kemudian berjalan keluar dengan tenang, meninggalkan jejak wangi sabun dan sampo yang saling beradu.

Seusai menggunakan seragam, Satya meraih ponselnya yang diam manis di atas kasur. Ia berniat membalas Line dari Aryo yang memintanya datang pagi. Kawan seekskulnya itu ingin membicarakan tentang tata panggung pada gedung tempat pementasan teater mereka. Dibalasnya Aryo dengan 'Y'.

(Satya rasa huruf itu cukup merangkum kesediaannya untuk datang lebih pagi dari biasanya.)

Awalnya, Satya hanya berniat mengecek pesan yang belum ia baca. Ada lima, semuanya dari Mada. Manusia itu sepertinya memang memiliki skill tersendiri dalam hal meng-spam orang. Ia melihat daftar kontak yang ia miliki di media sosial itu, hingga tangannya terhenti di sebuah kontak. Profile picture-nya adalah foto seorang pemuda yang tersenyum cerah sambil membawa kamera Nikon.

Taruna Mahardika

Mata mahoni Satya terus terpaku pada nama itu selama beberapa detik. Ragu, pemuda itu membuka kontak mantannya. Setelah berpikir selama beberapa detik, Satya membuka chat Line mereka.

Taruna Mahardika
'Hai, apa kabar lo?' pukul 21:57.

Belum dia balas sama sekali.

Berapa bulan yang lalu, Satya sangat anti membuka chat di antara dia dan si pemuda IPS. Dulu, ia sengaja tidak membalas pertanyaan basa-basi Dika agar si manik jati merasa canggung. Katakanlah Satya egois, karena memang begitu adanya. Kini, ia hanya bisa tersenyum miring melihat chat mereka.

Matahari makin lama makin meninggi. Sinarnya mulai mendominasi dinding kamar si anak IPA. Satya masih duduk manis di atas kasur dengan rambutnya yang setengah basah.

Selang beberapa saat, Satya kembali menatap layar ponselnya. Lalu, setenang mungkin, ia mengetikkan sesuatu. Dalam sekali kedip, pesannya sudah terkirim. Pemuda itu menarik napas perlahan dan mengeluarkannya dengan tenang.

Semoga apa yang ia lakukan adalah hal yang benar.

.

.

Lethologica©Aresiaccino

.

.

Pagi ini, Dika nyaris terkena serangan jantung. Pemuda itu tercenung menatap layar ponselnya. Gita dan Aga berkali-kali meneriakkan namanya untuk segera memanaskan motor, tapi si kakak masih tidak bergeming juga.

"Kayaknya Kak Dika telat bayar uang kas tiga bulan, terus kaget lihat tagihannya."

"Yeh, itu mah elo yang telat, Git. Kayaknya Kak Dika kaget lihat NSFW post di 9Gag. Nggak siap nurani."

Gita memutar bola matanya dan membisikkan kata-kata 'Dasar cowok,' dengan nada merendahkan. Gadis kelas enam SD itu bergegas menjauh dari kembarannya sebelum kena cubit. Ia menyusul ayahnya yang sedang memanaskan mobil di luar.

LethologicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang