When The Night Falls

18.5K 2.3K 260
                                    

Disaster

Kb. 1. Bencana, 2. Kemalangan, mala petaka, 3. (Atau) ketika satu rumah live in dengan mantan.

Yogyakarta, 6 September, lokasi live in.

Langkah kaki itu mulai gontai dan melambat, dan pemuda itu harus menyandarkan badan di salah satu pohon sawo untuk berteduh sementara dua orang di depannya terus maju tanpa kelihatan lelah. Lagi-lagi, Dika menyalahkan diri sendiri karena terlalu malas untuk berolahraga secara rutin. Tapi, mungkin ia tak akan seloyo ini meski tidak berolahraga jika yang jadi pasangan live innya bukan orang itu.

Sebenarnya, hubungan Dika dan Satya bisa saja membaik, terutama setelah mereka selesai berbelanja dari supermarket beberapa hari yang lalu. Dua pemuda berstatus mantan itu bisa bersikap sedikit lebih hangat dengan satu sama lain. Awalnya. Tapi apa mau di kata, muncul musibah di tengah jalan yang sukses membuat hubungan mereka kembali ke status cold war.

Bagi yang penasaran ada apa, biar Dika jabarkan dengan singkat: dua bungkus Oreo cokelat yang sangat disukai Satya itu terjatuh di jalan—entah di mana—, dan Dika baru sadar ketika mereka sudah sampai rumah. Keduanya sudah gelap mata ketika bertengkar bak anak kecil di depan rumah Dika—siap cubit-jewer-jitak-raba(abaikan yang terakhir)— karena urat malu mereka sudah putus digantikan rasa kesal.

Pada akhirnya, Ibu Dika datang dan melerai mereka, lalu menyuruh anaknya minta maaf di depan Satya sambil tersenyum keibuan.

Memang, orang tua jarang sekali membela anak kandungnya. Di situ, kadang Dika merasa sedih.

Tatapan bete ia lemparkan pada Satya yang sedang mengobrol dengan Ibu Karto—tentu saja istri dari Pak Karto— yang akan menampung mereka di rumahnya dan memelihara mereka untuk empat hari ke depan. Hanya Tuhan yang tahu mengapa Satya bisa berubah ramah begitu. Sekilas, Dika mendengar dirinya sendiri menggerutu. Ia segera merutuki dirinya  karena omongan dalam batinnya terdengar persis seperti ketika Indi mengkritik cewek lain.

"Ka, lo sampai kapan mau di situ?" Suara jutek, dalam, dan Dika jelas tahu asalnya dari siapa, terdengar cukup lantang hingga membuat yang dipanggil segera berjalan menyusul—dengan ogah-ogahan, tentunya.

Tanpa melirik Satya, pemuda berambut acak-acakan itu bilang dengan nada kesal, "Sorry. Gue capek." Satya tahu, Dika tidak benar-benar meminta maaf padanya. Bahkan dari cara bicaranya saja, kata-kata itu terdengar menyebalkan dan disengaja. Rupanya perang akibat Oreo itu masih berlangsung.

Lihat, tampang Dika sudah persis kulit lumpia goreng basi. Berminyak, penuh kerut, dan tidak ada nikmatnya untuk dipandang. Satya kembali bertanya-tanya: kenapa dulu ia bisa naksir makhluk jadi-jadian seperti Dika.

Tanpa menggubris perilaku labil orang di sampingnya, Satya terus berjalan mengikuti wanita berusia setengah abad di depannya. Wanita itu berbelok, ia juga berbelok. Wanita itu terdiam, Satya sontak ikut berhenti berjalan. Ketika wanita itu terlihat tergesa, pemuda itu sadar kalau rumah yang akan ia huni sudah dekat.

Entah apa kabar dengan orang di belakangnya. Satya hanya bisa berdoa agar mantannya diberi kekuatan untuk berjalan beberapa meter lagi dan tidak sekarat di tengah jalan, sebab lokasi rumah sakit amatlah jauh. Ditambah lagi, Satya malas mengantar Dika.

Yang Satya tahu, ketika akhirnya mereka sampai dan wanita itu sudah menyuguhkan teh hangat untuk menghapus lelah, pemuda yang pernah —sebenarnya masih sih, tapi Satya tak mau mengakuinya— ia sukai itu sedang duduk terpekur di bawah (lagi-lagi) pohon sawo dengan wajah menunduk menatap tanah dan tas gendong masih menempel mesra pada punggungnya.

Dari jauh, Dika terlihat seperti pertapa gagal moksa lalu depresi dan banting setir jadi pertapa genit.

"Ini tehnya, Mas Satya."

LethologicaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang