8 | Memilih diam.

23 12 16
                                    

Arisha menuruni anak tangga dengan raut wajah yang terlihat begitu lesu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arisha menuruni anak tangga dengan raut wajah yang terlihat begitu lesu. Seperti biasa, saat melewati meja makan, Liam melihat anak bungsunya, namun memilih mengabaikannya-seolah-olah menganggap Arisha hanya angin lalu saja. Arisha cukup sadar bahwa Liam tidak butuh anak seperti dirinya yang mungkin di mata Liam tidak berguna sama sekali? Sangat berbeda jika dibandingkan dengan Aurora.

"Arisha, sini sarapan bareng dulu!"

Saat Arisha hendak kembali melangkah tiba-tiba suara Aurora terdengar. Arisha lantas menoleh ke arah Aurora yang sedang menampilkan senyum semanis mungkin, meski Arisha tahu bahwa Aurora sedang tersenyum palsu. Jika Arisha tidak menuruti permintaan Aurora pasti Liam akan kembali marah kepadanya dan tidak segan kembali bermain tangan.

Tanpa menyahut Arisha bergerak untuk mendekat ke arah keduanya yang masih sibuk dengan sarapannya masing-masing. Hanya terdapat beberapa roti bakar dan tiga gelas susu. Dengan perasaan terpaksa Aurora berdiri, mengambilkan segelas susu yang masih utuh dan terasa hangat seraya roti bakar.

"Ini di makan dulu gih, gue nggak mau lihat lo sakit soalnya,"

Haha. Tapi lo suka ngelihat gue menderita, kan?

Arisha tersenyum getir. Kakak perempuannya memang benar-benar jago akting. Jika di depan Liam memang Aurora menunjukkan sikap baik, seolah-olah Aurora memperlakukan Arisha sebagai adik sebagaimana mestinya. Berbeda jika tidak ada Liam, Aurora bahkan tidak segan untuk memperlakukannya dengan buruk.

"Makasih kak, kakak baik banget, Arisha jadi tambah sayang sama kak Aurora,"

Damn!

Kenapa jawaban Arisha barusan sangat berbeda dengan apa yang dia pikirkan sebelumnya, huh? Dia kira Arisha tidak akan bergabung di meja makan. Tetapi Arisha bahkan tidak malu ikut bergabung dengannya dan papahnya. Yang Aurora inginkan adalah Arisha menolak dan mengabaikan ajakannya tadi, jadi Liam akan terpancing emosi lagi karena rencananya. Tetapi Arisha cerdik-seolah bisa tahu apa yang di pikirkan oleh Aurora.

Aurora memasang senyum palsu, menatap tajam sorot mata Arisha yang sudah mulai memakan roti bakar yang sempat dia ambilkan. Dia tampak terburu-buru karena tidak ingin terlambat-mengingat bahwa angkot akan berangkat sebentar lagi. Jika Arisha ketinggalan angkot lantas dia harus berangkat naik apa, huh? Liam dan Aurora tentu tidak akan peduli dengannya.

"Pipi lo kenapa?" Aurora bertanya dengan wajah panik.

Aurora menghentikan kunyahannya sebentar, dia melirik Liam yang tengah menatapnya dengan tajam. Arisha mengerti, pasti Liam menyuruhnya untuk tetap diam dan tidak bilang karena ulahnya tadi malam. "Ah, ini Arisha juga nggak tau, tadi malem belum lebam kok, tapi bangun tidur jadi lebam begini,"

Memangnya gue peduli? Gue seneng kalau lo sakit begitu. Batin Aurora dalam hati.

"Pasti sakit? Nanti lo obatin aja di UKS ya? Sekolah lo kan elite,"

Arisha sudah menduga bahwa Aurora bertanya bukan karena peduli tetapi karena penasaran. Lucu sekali. Memangnya apa yang di inginkan Arisha? Kakaknya peduli terhadapnya? Hal itu bahkan sangat terdengar mustahil di telinganya. Ah, miris sekali nasibnya, tetapi tidak apa-apa dia kuat hanya saja dia capek.

Setelah meminum habis segelas susu, Arisha mulai kembali berbicara. "Oke kak, kalau gitu gue berangkat dulu ya?"

Arisha beranjak dari duduknya, menghampiri Liam yang sedari tadi masih diam membisu. Dia mengulurkan tangan kanannya, ingin bersalaman dengan Liam, namun Liam hanya diam saja. Lagi-lagi Arisha tertawa getir. Harapannya untuk mencium punggung tangan papahnya bahkan selalu gagal. Bukan sekali dua kali Arisha melakukan hal tersebut, semenjak lulus dari sekolah dasar. Liam enggan untuk mengulurkan tangannya kepada anak bungsunya.

Caper banget jadi anak. Kek gue dong, nggak usah caper tapi selalu dapat perhatian dari papah. Batin Aurora dalam hati.

Setelahnya, Arisha menarik tangannya kembali karena tida
sama sekali oleh Liam. Dia mendekat ke arah Aurora dan mengulurkan tangannya seperti barusan-tetapi Aurora dengan senang hati menjabat tangan Arisha, dia tersenyum penuh arti saat tangannya di kecup oleh adiknya. "Belajar yang bener, biar pintar kayak gue,"

"Iya kak, kalau gitu gue berangkat dulu ya?"

"Ayok, gue temenin buat ke depan,"

Aurora menoleh ke arah Liam. "Pah, Aurora antar Arisha ke depan dulu ya?" Tanyanya, meminta persetujuan dari sang papah.

Liam hanya menganggukkan kepala tanpa mengucapkan sepatah katapun. Tentu saja dia akan selalu menuruti perkataan anak sulungnya, mengingat bahwa Aurora adalah anak kesayangannya. Sementara Aurora langsung menggandeng tangan Arisha menuju keluar.

Ketika sudah di ambang pintu utama, Aurora menyentakkan tangan Arisha dengan kasar. Dia menatap tajam Arisha, nafasnya memburu karena marah. "Ngapain lo pura-pura manis seperti tadi, huh? Lo pengen dapet perhatian dari gue dan papah? Jangan mimpi! Lo bahkan nggak pantas dapat semua itu."

Sudah Arisha duga bahwa sedari tadi Aurora sedari tadi memang sedang akting di depan Liam-agar terlihat seperti kakak yang baik dan menyayangi adiknya. Padahal jika tidak ada Liam, Aurora berperilaku seenaknya terhadapnya begitupun sebaliknya Liam akan memperlakukan Arisha buruk tanpa sepengetahuan Aurora.

Karena malas menanggapi, Arisha hanya bisa terdiam sembari memandang Aurora dengan malas.

Karena perkataannya tadi tidak di tanggapi oleh Arisha, Aurora lantas mendorong bahu Arisha, beruntung karena dorongannya cukup pelan, jadi tidak membuat Arisha terjatuh. "Di ajak ngomong kok malah diem, mendadak bisu lo?"

Arisha hanya memutar bola matanya malas, tanpa mengatakan sepatah katapun Arisha langsung memutar tubuhnya untuk meninggalkan Aurora yang masih menatap tajam dirinya. Daripada dia menanggapi kakaknya, Arisha memilih untuk langsung mencari angkot. Jika dia menanggapi perkataan kakaknya pasti dia akan telat.

o0o

TBC!

ARISHATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang