BOUND 02

43 5 0
                                    

       Sinar matahari berlomba-lomba masuk melalui celah-celah jendela kamar, menyorot tepat pada perempuan yang masih senantiasa bergelung dengan selimut miliknya.

Mata indahnya mengerjap merasakan silau yang mendera kelopak matanya yang masih enggan membuka. Diangkatnya satu jemari dan dia halau sinar yang seakan menganggu tidur lelapnya.

"Nora, ayo bangun." Agrio mengelus lembut pipi Nora dengan jari telunjuknya. Bibirnya mengulas senyum.

"Jangan ganggu aku." Nora menepis kasar tangan Agrio yang dengan lancang menyentuh pipinya.

"Nora, aku telah memasak untuk sarapan kita. Mari sarapan terlebih dahulu?" ajak Agrio, tangannya berpindah mengelus bahu perempuan ini penuh cinta.

"Kau makan saja sendiri. Aku muak, Agrio! Tolong mengertilah," teriak Nora tertahan. Tubuhnya telah sepenuhnya dalam posisi duduk, dibawanya tubuh itu mundur memberi batas akan dirinya dan Agrio.

"Sekali saja kau coba makanan yang telah aku siapkan untukmu." Agrio memberikan senyum tulusnya.

"Sejak kau memasak untukku dua hari lalu, kau pikir aku sudi memakan masakan buatan mu itu?" tanya Nora penuh penekanan pada setiap kata yang ia lontarkan.

"Bahkan melihat pun aku tak ingin," hina Nora memberikan tatapan tajam penuh ketidaksukaannya.

Agrio memudarkan senyummu sesaat, kemudian ia mengulas senyum kaku lalu berucap, "apa kau mau makan makanan lain? Um, masakan Bibi misalnya."

"Diamlah. Lagipula mengapa kau begitu repot mengurusi diriku? Urus saja kehidupanmu yang menyedihkan itu," ucap Nora dengan nada tajam. Di lemparnya selimut putih tebal itu ke lantai, lantas ia beranjak keluar ruangan.

Agrio telah tiba di meja makan. Matanya menatap dua piring nasi goreng seafood  yang telah ia siapkan untuknya dan Nora. Meski ia harus bangun lebih awal agar dapat memasak agar tak terlambat berangkat bekerja.

Nasi goreng seafood milik Agrio telah tandas, menyisakan satu piring lagi. Agrio tersenyum singkat. Rasa sesak memenuhi rongga dada. Seakan menyumbat aksesnya untuk menghidu udara lebih banyak.

"Janera, kau mau?" Tepat ketika gadis berusia delapan belas tahun itu melintasi meja makan, Agrio menawarkan pada gadis itu.

"Untuk saya?" Janera melotot tak percaya. Makanan yang ditawarkan padanya adalah masakan tangan Agrio sendiri, bahkan didedikasikan untuk Nora. Memang terlihat begitu menggiurkan, namun apakah pantas ia menerimanya?

"Makanlah sebelum dingin," ucap Agrio kemudian memberikan senyum singkatnya dan berlalu menuju kamarnya untuk bersiap.

Janera menatap kepergian Agrio dengan senyum kagumnya. Pria itu sungguh baik, Janera merasa memiliki seorang ayah saat pria itu dengan baik hati selalu memperhatikan dirinya dan ibunya selama bekerja di sini. Meski bukan pada mereka saja, Janera cukup senang melihat kedermawaan Agrio.

Gadis itu lantas meletakan kemoceng di tangannya pada salah satu nakas sedikit menjauh dari meja makan agar debu dari kemoceng tak terbang ke meja makan itu.

"Enak sekali. Benar-benar pria idaman. Mengapa Nyonya membenci pria sempurna sepertinya?" gumam Janera mengunyah makanan secara lambat.

***

A

grio duduk di kursi kebesarannya sembari menatap lekat dengan teliti penuh pada in-focus yang terpasang menampilkan beberapa data dengan seorang karyawan kantor yang menjelaskan untung-rugi dalam beberapa bulan terakhir.

Bound Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang