💐10. Dihukum (lagi?)

71 36 35
                                    

"Ze, bangun!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ze, bangun!"

Aku membuka mata, yang pertama kali kulihat dengan samar-samar adalah seorang lelaki memakai seragam dan dasi SMA, seperti Bian mungkin.

Dengan kesadaran yang sudah penuh, aku sangat terkejut saat yang kulihat samar-samar tadi, ternyata emang benar, itu adalah Bian.

"Aaaaaa!" Aku berteriak kaget, kok bisa Bian ada di kamarku pagi-pagi begini, sih?

"Lah, kenapa? Aneh lu! pagi-pagi udeh teriak-teriak aja."

"Kamu yang aneh! Kenapa lancang masuk ke kamarku pagi- pagi begini, hah!"

"Tadi gue udah klaksonin di depan kost, lu nya kagak nyaut-nyaut, kebetulan tadi bude Sum nitip bubur ini, buat lu sarapan," ucapnya sambil memperlihatkan dua bungkus bubur ayam.

Aku baru ingat, semalam aku dan Bian kan pergi ke pasar malam, dan kami tidur larut malam karena asik chatting, sampai-sampai aku tidur jam dua pagi.

"Ya, gak perlu sampe kamar juga ish, Bian!" karena kesal, aku memukulnya dengan guling.

"Ya, Lo juga tidur kayak kebo, udah gue telponin juga, pasti kagak denger."

"Ya, udah ish, tunggu di ruang tamu. Aku mandi sama siap-siap dulu."

"Cepetan ye, liat noh udah jam berapa," Ia menunjuk ke arah jam dinding.

Astaga, sudah jam 06:56. Artinya waktu sebentar lagi mendekati bel masuk. Aku segera berlari sambil menarik handuk yang ada di gantungan pintu kamar. Sementara Bian, menunggu di ruang tamu.

Selesai mandi dan bersiap-siap, aku segera menyiapkan buku-buku yang akan dibawa hari ini.

"Gausah cepet-cepet Ze, santai aja lah," ucapnya dengan enteng.

"Santai gundulmu! sepuluh menit lagi bel, yang ada nanti kita di hukum, Bian!"

"Palingan cuma disuruh dengerin ocehan ketua OSIS yang rempong itu. Ya, udah nih, makan dulu bubur nya. Gue suapin," ucapnya sambil memasukkan satu sendok bubur ke mulutku.

"Husss! julid banget mulutnya!"

Adegan suap-suapan pun dimulai, hingga pada suapan terakhir aku rasa perutku sudah tidak kuat menampung beberapa sendok bubur ini. "Ini, nih! satu suap lagi. Ayo, buka mulutnya." bujuknya.

Aku menggelengkan kepala, padahal di mulutku masih penuh dengan bubur, tapi Bian terus memaksaku membuka mulut.

"Ya, udah kalo gak mau, buat gue aja," dia melahap satu sendok bubur yang tersisa tadi.

Setelah selesai sarapan dan melewati jalanan yang sedang macet-macetnya, kini kami sampai di depan gerbang sekolah.

"Tuh kan, udah digembok. Gimana caranya kita masuk coba kalo kaya gini?" ocehku kesal, ternyata kami memang terlambat. Gerbangnya sudah benar-benar digembok.

Surat untuk Bian [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang