💐23. Lampion.

51 15 28
                                    

"Denger ya, bangsat! Zea ini pacar gue, jangan lo coba-coba berani nyentuh dia!"

"P-pacar?" tanya kak David dengan nada terbata-bata.

"Budek kuping lo?!"

"Bian, udah! Malu diliatin orang-orang. Ayo, kita balik aja." Aku segera menarik tangannya, untuk menjauh dari Kak David.

"Ngapain balik, sih? Acaranya juga belum selesai loh ini," protesnya, kalau tidak diajak pulang, bakalan makin emosi dia nanti.

"Aku nggak mau ya, nantinya kamu bikin acaranya Innes jadi kacau, lagian kenapa pake emosi, sih? Inget, Bian, Kak David itu sepupu kamu." Aku sedikit membentaknya, kebiasaan memang Bian emosi meledak-ledak seperti ini.

"Oke, maaf, tapi gue nggak suka David seenaknya meluk pacar gue. Gue liat semuanya, Ze. Gue tadi denger kalo dia suka sama lo, makanya gue langsung emosi," ucapnya sambil mengelus rambutku.

"Iya, nggak apa-apa. Sekarang kita pulang, ya?" bujukku, tapi sepertinya tidak baik jika pulang dengan keadaan marah. Namun, mau kemana juga malam-malam begini?

"Gue denger-denger, di sekitar sini ngadain festival lampion. Ikutan aja, yuk!" ajaknya tiba-tiba dengan nada riang. Kemarahan seolah sirna dari Bian.

"Di mana? Nggak ada, tuh." Aku celingukan, mencari di mana festival itu.

"Ya nggak di sini, masih agak jauh. Tapi, kalau mau lanjut pulang ya nggak papa, ngikut gue mah."

"Mau!" Buru-buru aku mengiyakan ajakannya.

Kami kemudian menaiki mobil, berjalan agak jauh dari tempat tadi. Ternyata festival lampion itu diadakan di dekat pantai. Sangat ramai, banyak juga lampion-lampion yang sudah terbang menghiasi langit.

Aku dan Bian turun dari mobil, menghampiri pedagang lampion yang kebetulan berada dekat dengan kami. Bian memesan dua lampion berwarna putih, kemudian memberikan satu lampion tersebut padaku.

Dia kemudian mengeluarkan spidol, "Loh? Buat apa? Kita tulis permintaan juga?" tanyaku heran.

"Nggak, sih, lo kan tahu gue orangnya emang suka berharap. Jadi, gue mau berharap ke Tuhan lewat lampion ini. Gue mau tulis permintaan gue, kita nggak tahu, kan, permintaan mana yang bakalan terwujud? Jadi terus berharap," ucapnya menirukan ucapanku saat kami menadahkan air hujan di makam waktu itu, Bian tersenyum sangat tulus.

Tanpa kusadari aku menampol lengannya, "Haha, niru kata-kata aku mulu!"

Dilanjutkan dengan tawa Bian "Hahah gapapa dong, nyontek dikit," ucapnya kemudian kembali fokus menuliskan kalimat permohonan pada lampionnya.

Aku yang keppo nya sudah mendarah daging ini melirik ke lampion yang sedang Bian tulisi, ternyata permohonan yang ia tuliskan adalah Aku ingin bersama orang yang ada di sampingku ini, selamanya. Hanya beberapa kata, namun itu membuatku senyum senyum sendiri.

"Ngapain senyum-senyum?" tanyanya saat melihatku.

"Permintaan kamu lucu, orang yang kamu maksud itu aku, kan?"

"Iya, lah. Ga mungkin, kan, bapak-bapak yang ada di sebelah. Gue masih normal, anjrit!" jawabnya dengan gaya bicara bercandanya. Aku langsung melihat ke samping Bian, memang benar ada Bapak-bapak berkumis tebal.

"Pffttt.." Aku menahan tawa mendengar bercandaan Bian barusan.

"Udah, jangan ketawa terus. Nih, mau nulis permohonan nggak?" ucapnya menawarkan spidol yang ia pakai tadi.

"Nggak usah, permintaan aku sama kayak kamu, kok. Aku juga pengen bisa selamanya sama orang yang ada di samping aku ini." Aku kemudian tersenyum padanya, Bian pun membalas senyuman yang sama.

Surat untuk Bian [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang