BRIAN

2 1 0
                                    

E N J O Y Y O U R C H A P T E R

Delvan mendorong tubuh Brian minggir. Ia masuk begitu saja kemudian menghampiri Acha. "Kamu sudah kenal saya?"

Acha terdiam, ia melihat Brian seraya menggeleng cepat. "Belum, om, cuman waktu itu udah pernah di kasih tahu Brian."

"Oh, saya kira sudah kenal, saya," balas Delvan seraya duduk di sofa. Pria dengan rambut yang sedikit memutih itu membuka maskernya. Ia menatap Acha sepersekian detik kemudian melepas kaca mata hitam yang menutupi netra kecoklatan itu.

"Kamu harus bersyukur saya mau menjadi perwakilan orang tua kamu, sebab saya saja belum pernah datang ke kampus Brian, dan kamu menjadi alasan pertama saya."

Acha kikuk, kalau begini kenapa Brian tidak bicara terlebih dahulu kepada ia. Jika sudah begini, Acha jadi tidak enak. "Terimakasih banyak, om," tutur Acha, sambil menunduk.

Delvan terkekeh, "Ucapan saja sepertinya tidak cukup,"

"Lalu, saya harus bagaimana om?" tanya Acha, semakin tidak enak.

"Biar saya pikir lagi nanti, sekarang kita harus ke kampus," jawab Delvan, sambil melirik kearah jam di pergelangan tangannya.

Brian ikut melihat jam pada dinding, ia menepuk jidatnya pelan. "Buset, udah siang," gumam Brian. pria itu menghampiri Delvan, lalu membisikkan sesuatu yang tidak Acha mengerti. Kemudian delvan bergumam lantas di balas anggukan oleh Brian.

Delvan mengangguk, "Okay, saya duluan, jangan lupa kalian juga harus cepat." Kaca mata hitam di atas meja ia ambil kembali begitu pula maskernya, diikuti dengan Brian yang memberikan jas hitam milik Delvan yang tadinya tersampir di kursi.

"Ayo, Pa," seru Brian. Acha mengernyit.

Delvan mengangguk, lalu melangkah mengikuti Brian.

Acha memberikan jalan untuk mereka.

Tapi,

Kenapa mereka justru masuk ke dalam kamar Brian.

Brian membiarkan Delvan masuk, kemudian pria itu menutupnya dari luar. Sebelum pintu kamar tertutup rapat, Delvan menatap Acha sambil melambaikan tangannya.

Gadis itu bergidik. Ia cepat cepat berlari menghampiri Brian. "Brian,"

Brian menoleh, "Iya?"

Acha menggeleng, ia melihat pintu kamar Brian sekali lagi. Kemudian Cahaya putih keluar dari sela sela pintu. Gadis itu semakin terbelalak.

"Oh, ya, kata papa tadi gue di suruh nganterin lo ke papa, lo," ujar Brian. Acha membuyarkan lamunannya. "Harus, ya?"

Brian mengangguk. "Kenapa? bukannya gue juga harus kenal papa, lo?" Brian balik bertanya.

"Okay, kita mampir beli bunga dulu, ya,"

"Iya, sayang, udah sekarang ayo siap siap. Papa gak suka keterlambatan," ucap Brian, sambil mengelus puncak kepala Acha.

Gadis itu mengangguk, kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya. Sepertinya benar kata Nathan, kamar Brian pasti menyimpan banyak rahasia yang harus Acha ketahui.

'''

Acha turun dari mobil, ia melihat komplek pemakaman itu lagi setelah hampir dua tahun tidak berkunjung kesini. Brian menggandengnya, kemudian mengajak gadis itu masuk. "Yang mana?" tanya Brian.

Acha tidak menjawab, namun tetap melangkah.

Brian ikut terdiam, kala langkah itu mendekati makam seseorang. Jantungnya berdebar dua kali lebih cepat, ia jadi mengerti bahwa papa nya mencoba menunjukkan sesuatu yang perlu Brian ketahui.

22.19 [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang