E N J O Y Y O U R C H A P T E R
Tubuh mungil itu terlihat diseret paksa oleh dua orang bertubuh besar. Kakinya mengucurkan darah segar akibat goresan antara aspal dan permukaan kulit.
Sepersekian detik, pikirannya berputar. Kini ia berada dalam ruangan mematikan. Suhu di ruangan ini benar benar habis dan menyisakan karbondioksida beserta gas beracun. Ventilasi di sekililing nampak tidak berfungsi sama sekali. Acha bernapas gusar. Berkali kali ia mencoba untuk bebas, tetapi cengkeraman itu bertenaga lebih besar darinya.
Tiba tiba tubuh Acha dibanting secara kasar keatas kasur. Ia bisa merasakan betapa sakitnya tubuhnya sekarang. Air mata mulai menggenang di pelupuk. Acha kehabisan ide untuk bebas, kala selanjutnya ia mulai panik Ketika tubuhnya dipaksa untuk mundur. Pria itu semakin mendekat, memajukan seringainya hingga mulai menjamahi wajah Acha.
Kedua kancing kemeja atas, mulai terbuka. Acha ingin berteriak tapi tidak bisa. Mulutnya tercekat, seakan pita suara kini telah berhenti berfungsi.
Acha mendongak, ia memejamkan mata. Tetapi selanjutnya, ia tidak merasakan sentuhan tadi. Pria itu menghilang. Acha dibiarkan disini, sendiri. Gadis itu bernapas lega.
Ia beranjak, dengan menahan rasa sakit pada luka luka yang kian menganga. Satu kaki turun, diikuti kaki kiri yang masih tertinggal. Ia menjadikan nakas sebagai penopang tubuh, langkahnya yang terseok membuat ia harus memakan banyak waktu hanya untuk mencapai pintu.
Tetapi tuhan memang baik, kini Acha mulai menarik ke bawah gagang pintu kayu tersebut. Ia mengintip dari lubang kunci.
"AAAAAAA..."
"Hai,"
Acha terjatuh, apa yang baru saja ia lihat.
Brak.
Pintu dibuka secara kasar. Pria dengan setelan jas hitam masuk ke ruangan. Ia menatap Acha dari atas hingga ujung kaki gadis itu.
Acha bergidik.
Tanpa menunggu lebih lama, Acha mundur ke belakang.
Naas.
Tubuh Acha kalah cepat.
Pria itu menggendong Acha, kembali melemparkannya keatas kasur. Dan melanjutkan keempat kancing kemeja Acha yang belum terbuka.
Acha kesulitan bernapas.
"JANGAN DEKETIN GUE!!"
'''
Brian terlonjak, ia bangkit dari tidurnya. Langkahnya yang sangat cepat membawa ia menuju kamar Acha. Laki laki itu mengerjap, ia menempelkan telinganya pada pintu. Teriakan Acha memenuhi seisi kamar.
Brian ingin masuk, tapi ia sedikit ragu. Ia mengetuk beberapa kali. Kemudian menyerukan nama Acha. Namun hal itu nampaknya sia sia.
Pintu tidak terkunci.
Apakah ia harus masuk.
Tapi itu hal bodoh, berada dalam satu kamar dengan perempuan yang masih menjadi pacarnya.
Ia mengusir pikiran kotor itu.
Brian masuk.
"Acha, Acha," Brian berlari kearah tempat tidur, gadisnya dalam kondisi sangat kacau.
Acha meringkuk, ia memeluk kedua kakinya. Tangannya bergetar hebat, keringat tak berhenti mengucur di pelipis. Gadis itu semakin berteriak tak karuan.
"JANGAN, JANGAN LO ORANG JAHAT."
"Cha, ini gue, Brian," Brian menepuk nepuk pipi Acha. Mengusap bulir keringat yang terus mengucur lalu membawa Acha dalam dekapannya.
Acha menggeleng cepat, ia memberontak dan menjauh dari Brian. tangannya menahan Brian untuk bergerak mendekat.
Brian kebingungan. Jika seperti ini, bagaimana bisa ia menyadarkan Acha dari mimpi buruknya.
Pria itu bangkit berjalan memutar ke bagian lain dari tempat tidur Acha dan membiarkan gadis itu diam dengan sendirinya.
Setelah dirasa Acha tenang, Brian berjalan mengendap. Tanpa menimbulkan suara dan langsung menarik acah dalam dekapannya.
Pria itu bernapas lega.
"Cha,"
"Nggak, nggak, Acha bukan perempuan kotor," gumam Acha. "Kenapa gue selalu kalah soal realita, kenapa?!"
Brian menggeleng. Matanya mengadah pada langit langit kamar. Belum satu minggu dan Brian gagal menjaga Achanya. "Cha, seburuk apapun diri lo, gue akan selalu disini buat lo, gue akan menjadi bahu terkuat untuk lo bersandar, Cha," Brian menarik napas. "Jangan buat gue hancur Cha, please," lanjutnya.
Acha perlahan membuka mata, ia memeluk tubuh Brian semakin kuat. "Gue gak tahu harus gimana lagi, kalau lo nggak ada, Brian." tangisnya pecah. Brian merasakan tubuh Acha semakin bergetar hebat.
"Gak usah mikir sampai sana, kita ditakdirkan untuk bertemu, bukan untuk berpisah, sayangnya Brian harus senyum terus tiap hari,"
Acha menggeleng, ia tersenyum tipis kemudian bersandar lagi pada dada bidang Brian. "Semoga,"
Brian terkekeh. Ia mengusap surai hitam itu berkali kali, memainkan jemari Acha hingga gadis itu tertidur pulas dalam dekapannya. Laki laki itu tersenyum. Brian tidak pernah gagal soal pesona.
'''
Pagi kembali datang.
Brian masih menetap di unit apartemen Acha. Setelah kejadian semalam, ia memutuskan untuk membawa Acha pulang. Dan Brian mau tidak mau harus menemaninya disana.
"Brian," seru Acha. Ia keluar dari kamar, mengucek matanya berkali kali kemudian beralih menatap Brian yang tengah sibuk di pantry. "Ngapain?" tanya Acha.
Brian tersenyum lebar, ia berjalan kearah Acha sambil membawa dua potong sandwich yang baru saja ia buta. Dengan bangga Brian menyerahkannya pada Acha.
Acha mengernyit, meski sedikit ragu, Acha menerima pemberian Brian.
Brian menarik Acha menuju meja makan.
"Makan, gih," titah Brian.
Acha memperhatikan sandwich tersebut. Meski jauh dari kata rapi, tapi apa salahnya mencoba. "Belum pernah bikin ya?" tebak Acha.
Brian menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "He he he, lihat tutorial di internet," jawab Brian sambil tersenyum lebar. "Ngapain belajar bikin sandwich, nantinya juga udah ada kamu yang pinter masak," lanjut Brian.
Acha membulatkan matanya, tidak. Bukan karena ucapan Brian. namun karena sandwich tersebut, jauh dari kata lezat.
Gadis itu menarik napas, kemudian bangkit dan menyambar sandwich di tangan Brian. "Sini," ucapnya.
Brian mengedikkan bagu, acuh. Ia mengikuti Acha kembali menuju pantry.
"Harusnya ini pake sandwich bread, jangan pake roti tawar biasa, then, jangan lupa kasih butter sama mayonnaise dikit waktu bikin beef nya, terus sajikan di piring, kasih garnish biar makin cantik, and..." Acha menyelesaikan komponen sandwich nya, ia menaburkan garlic powder kemudian mengangkat piring tersebut tinggi tinggi, "Taraaa, ini baru Namanya sandwich, sayang."
Brian terkekeh, ia mengeluarkan ponselnya kemudian mengambil gambar Acha beserta sandwichnya. "See, ini masakan pertama yang lo buatin ke gue, jadi harus diabadikan," kata Brian.
Acha memutar bola matanya malas. "Yuk,"
"Iya,"
Mereka berjalan kembali menuju meja makan.
"Hari ini ada kelas?" tanya Brian.
Acha mengangguk, "Konsultasi sama dosen pembimbing, lo gimana?"
"Ada, sebenarnya, cuman males, jadi skip aja hari ini," jawab Brian enteng.
"Enteng banget ngomongnya, inget ya perjanjian kita,"
Brian mengangguk, "Easy, babe." "Jadi hari ini, special for you, lo kemana aja dan mau apa aja gue turutin," lanjutnya.
"Beneran apapun?"
"Iya,"
"Kalo ketemu keluarga lo gimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
22.19 [ON GOING]
Novela Juvenil"Lo apain orang tua gue?!!!" "Gue ambil otaknya buat riset, kenapa? Mau marah?" "JADI KALIAN BENERAN ALIEN??" "Emang kalau gue bilang kita mafia, lo percaya?" Acha Stephanie, ketua BEM dari fakultas hukum itu terpaksa menjalani kehidupan yang sangat...